Jumat, 09 Desember 2016

KAIDAH- KAIDAH HUKUM ISLAM (QAWAID FIQHIYYAH) TENTANG KEUANGAN ISLAM

1.     Pendahuluan
Qawaid fiqhiyyah merupakan salah satu landasan penting bagi para mujtahid dalam menetapkan hukum islam. Qawaid fiqhiyyah ini memberikan kemudahan mengenai dasar- dasar hukum islam secara umum dari substansi materi hukum- hukum syara yang begitu banyak, dan dengan Qawaid fiqhiyyah tersebut dapat dipahami dengan mudah dari kaidah- kaidah tersebut dapat dipahami dengan mudah dari kaidah- kaidah tersebut.      

2.      Pengertian Qawaid Fiqhiyyah
Istilah Qawaid fiqhiyyah terdiri dari dua kata yaitu kata qawa’id dan fiqhiyyah. Qawaid secara etimologis adalah jama dari Qaidahyang artinya adalah asas, dasar atau fondasi baik yang bersifat abstrak maupun konkrit, seperti kata- kata qawaid al-bait, yang artinya fondasi rumah, qawaid al-din, artinya dasar- dasar agama, qawaid al-‘ilmi, artinya kaidah- kaidah ilmu.
Dalam istilah ahli gramatika bahasa Arab, kaidah antara lain bermakna :
Ø  Dhabit yang mempunyai makna hukum kulli yang mencakup bagian- bagiannya (partikular).
Ø  Proposisi yang bersifat universal (kulli) yang dapat diaplikasikan kepada seluruh bagian- bagiannya (juz’inya)
Ø  Suatu hukum dominan yang mencakup seluruh bagiannya.
Dari bebrapa pengertian kaidah tersebut dapat disimpulkan bahwa kaidah merupakan suatu ketentuan umum/ universal yang dapat diaplikasikan kepada seluruh bagian- bagiannya dan ketentuan dari bagian- bagian tersebut dapat diketahui dengan memahami ketentuan umum  itu.
Sedangkan makna fikih menurut istilah adalah pengetahuan tentang hukum- hukum syariah Islam mengenai perbuatan manusia yang diambil dari dalil- dalil secara detail, atau kodifikasi hukum- hukum syariah Islam tentang perbuatan manusiayang diambil dari dalil- dalil secara detail.

Jadi, pengertian Qawaid fiqhiyyah adalah kaidah atau dasar fikih yang bersifat umum yang substansi materinya meliputi bagian yang ‘banyak sekali berkaitan dengan hukum- hukum syara’ dan hukum- hukum syara yang banyak tersebut dapat dipahami dari kaidah- kaidah tadi.
3.     Sejarah Kemunculan Qawaid Fiqhiyyah
Kaidah- kaidah kulliyah atau kaidah- kaidah yang bersifat umum ini sering diistilahkan dengan al- asybah wa al-nazhair. Pengambiloan istilah ini menurut Hasbi al Shiddiqie dimungkinkan bersumber dari perkataan Umar kepada Abu Hasan al-Asya’ari. Tidak diketahui secara pasti mengenai kapan dan siapa yang pertama kali yang menggagas pembentukan kaidah fikih ini. Ada yang berpendapat bahwa qawaid fiqhiyyah ini telah ada sejak awal perkembangan Islam yang terformulasi dalam hadis- hadis nabi yang bersifat jawami ‘ammah (singkat dan padat ) seperti al-kharaf bila dhaman, la dharara wa la dhirara, dsb dan atsar (pernyataan) sahabat yang dikategorikan jawami al- kalim dan qaidah qaidah fiqhiyyah. Dari hadis dan atsar sahabat tersebut kemudian berpengaruh kuat terhadap fikih- fikih sesudahnya. Terkadang kaidah tersebut dijadikan sebagai penjelasan (syariah) atas hadis Nabi Muhammad SAW. 
Walaupun demikian, para ulama di bidang kaidah fikih mengakui bahwa kalangan fukuha Hanafiah merupakan generasi pertama yang mengkaji qawaid fhiqiyyah. Hal ini mengingat begitu banyaknya furu’ (ketentuan hukum yang bersifat bagian) dari para iamam mazhabnya yang berkembang pada waktu itu, yang terkadang sulit dihadapi dan diidentifikasi, sehingga mendorong untuk membuat kaidah- kaidah tersebut.
Pengumpulan qawaid fhiqiyyah dalam mazhab Hanafi ini dilakukan pertama kali oleh Abu Thahir al- Dabbas al- Hanafi, seorang ulama yang hidup pada abad III dan IV H, yang kemudian oleh para ahli dianggap sebagai penyusun pemula kitab qawaid fhiqiyyah. Dia mengumpulkan sebanyak 17 buah kaidah yang terpenting dari mazhab Hanafi, Abu Thahir selalu mengulang- ulang kaidah tersebut di masjid, setelah para jamaah pulang ke rumahnya masing- masing.
Kemudian abu Said al- Harawi al- syafi’i (488 H), seorang ulama mazhab Syafi’i mengunjungi Abu Thahir dan mencatat kaidah fikih yang dihapalkan oleh Abu Thahir. Terdapat 5 kaidah fikih yang teridentifikasi dicatat oleh Abu Said al- Harawi dari Abu Thahir tersebut. Kelima kaidah ini adalah:
1.      Segala sesuatu itu bergantung kepada maksud pelakunya
2.      Kemudharatan itu harus dihilangkan
3.      Adat kebiasaan itu menjadi hakim
4.      Keyakinan itu tidak bisa dihilangkan lantaran munculnya kerugian
5.      Kesukaran itu mendatangkan kemudahan
Sejak itu kemudian kajian kaidah fikih menjadi marak baik dari segi jumlah kaidah fikih yang muncul maupun dari kitab- kitab yang menyusun kaidah fikih tersebut. Pada abad VIII-IX hijriyah dinilai sebagai masa keemasan penyusunan buku- buku kaidah fikih. Lebih dari 10 antara lain:
1.      Al- Asybah wa al-Nadzhair karya Ibn Wakil al- Syafi’i         (716H)
2.      Kitab al- qawaid karya Al- maqqari al-Maliki                        (758H)
3.      Al- Asybah wa al-Nadzhair karya al- Subaki al-Syafi’i          (771H)
4.      Al- Asybah wa al-Nadzhair karya al-Isnawi                           (772H)
5.      Qawa’id fi al-fiqh karya al-Zarkasi al-Hambali                      (795H)
6.      Kitab al-Qawa’id karya Ibn al- Mulaqin                                 (804H)
7.      Al-Qawa’id wa al-Dhawabit karya Ibn Abdil Hadi               (880H)
Begitu juga pada abad- abad selanjutnya muncul kitab- kitab tentang kaidah fikih, baik yang bersifat penyempurnaan dari kitab- kitab sebelumnya seperti kitab yang disusun oleh Ibn al- Mulaqqin (804H) maupun melakukan kodifikasi dari kitab- kitab sebelumnya seperti yang dilakukan Imam al-Suyuthi (911H) dalam al-Asybah wa al-Nadzair nya. Ia melakukan kodifikasi dari kaidah- kaiidah fikih yang paling penting dalam karya al-‘Alai (761H), al-Subki (771H), dan al-Zarkasyi (794H). Begitu juga yang dilakukan Ibn Nujaim al-Hanafi (970H), ia telah menyusun kitab qawaid fiqhiyyah dengan nama al-asybah wa al- nazhair.
Pengkodifikasian qawaid fiqhiyyah mencapai puncaknya ketika tersusun majallah al-ahkam al-‘adliyyah oleh komite (lajnah) fuqaha pada masa Sultan al-Ghazi Abdul Aziz Khan al- Usmani (1861-1876H), pada akhir abad XIII H (1292H). Dalam penyusunan majallah ini komite telah melakukakn penelitian pustaka terhadap kaidah- kaidah yang ada sebelumnya terutama kitab al-Asybah wa al-Nadzair karya Ibnu Nujaim (970H) dan Majami’ al- Haqaiq karya al-Khadimi (1176H). Komite dengan selektif memilih dan memilah kaidah yang akan dimasukkakn ke dalam majalluh. Dalam penyusunannya, komite menggunakan redaksi yang singkat seperti undang- undang(qanun). Dalam majallah al-Ahkam ini terdiri dari 16 buku dengan 1851 pasal. Pada buku pertama memuat antara lain tentang kaidah- kaidah fikih (hukum Islam) sebanyak 99 kaidah dan transaksi jual beli (Pasal 101 s.d. 403) dan selanjutnya mengenai transaksi- transaksi mu’amalah dalam islam termasuk proses beracraa pengadilan.
Dengan demikian, kemunculan qawaid fiqhiyyah menjadi sebuah disiplin ilmu yang berdiri terjadi secara berangsur- angsur dan bertahap. Pada awalnya hanya berupa pemikiran tentang suatu persoalan, kemudian setelah pemikiran tersebut mantap, baru terbentuk menjadi sebuah kaidah.

4.     Proses Dan Kegunaaan Kaidah Fikih
Proses pembentukan kaidah fikih ini terjadi antara lain didorong oleh karena adanya kebutuhan memahami materi ketentuan hukum(fikih) yang begitu banyak. dengan adanya kaidah fikih ini dharapkan persoalan- persoalan yang muncul di masyarakat, dapat memperoleh jawaban secara cpat dan tepat sesuai dengan ketentuan hukum Islam yang ada dalam Al-Quran dan Sunnah, serta dengan metodologi (ushul fikih) yang akurat.

Dengan latar belakang tersebut, maka proses pembentukan kaidah fikih, sebagai mana dijelaskan A Djazuli, bermula dari sumber hukum Islam yaitu Al-Quran dan Hadis, kemudian muncul ushul fikih sebagai metodologi dalam penarikan hukum islam. Dengan menggunakan metodologi ushul fikih yang menggunakan pola pikir deduktif menghasilkan fikih. Fikih ini banyak materinya. Dari materi fikih yang banyak tersebut kemudian diteliti persamaan dengan menggunakan pola pikir induktif, kemudian dikelompokkan, dan tiap- tiap kelompok merupakan kumpulan dari masalah- masalah yang serupa, akhirnya disimpulkan menjadi kaidah- kaidah fikih. Kaidah- kaidah ini bersifat sementara, lalu agar kaidah tersebut mapan, maka tindakan selanjutnya adalah melakukan kritisasi terhadap kaidah- kaidah tadi dengan banyak ayat dan hadis, terutama kesesuaiannya dengan ayat Al-Quran dan Hadis nabi. Setelah proses kritisasi, maka barulah kaidah ini menjadi kaidah fikih yang mapan. Apabila sudah menjadi kaidah yang mapan, maka para ulama menggunakan kaidah tadi untuk menjawab persoalan- persoalan yang terjadi dalam masyarakat, baik di bidang sosial, ekonomi, politik, dan budaya serta lainnya yang kemudian memunculkan fikih- fikih baru. Hasil dari jawaban terhadap ermasalahan tersebut kemudian menghasilkan fatwa- fatwa, yang kemudian sebagian dijadikan dasar oleh negara dalam menyusun peraturan perundang- undangan (Qanun).


           Kegunaan kaidah- kaidah fikih antara lain adalah sebagai berikut:
1.     Untuk mengetahui asas- asas umum fikih.
2.     Lebih mudah menetapkan masalah- masalah yang dihadapi.
3.     Lebih arif dalam menerapkan fikih sesuai dengan waktu dan tempat yang berbeda untuk keadaan dan adat kebiasaan yang berlainan.
4.     Dapat memberikan jalan keluar dari berbagai perbedaan pendapat di kalangan ulama atau setidak- tidaknya menguatkan pendapat yang lebih mendekati kepada kaidah- kaidah fikih.
5.     Akan mengetahui rahasia- rahasia dan semangat hukum- hukum Islam yang akan tersimpul dalam kaidah- kaidah fikih.
6.     Akan memiliki keleluasaan ilmu dan ijtihadnya mendekati kepada kebenaran, kebaikan, dan keindahan.


Baca Juga : Kaidah-Kaidah Fikih Tentang Keuangan Islam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar