1.
Pendahuluan
Qawaid
fiqhiyyah merupakan salah satu landasan penting
bagi para mujtahid dalam menetapkan
hukum islam. Qawaid fiqhiyyah ini
memberikan kemudahan mengenai dasar- dasar hukum islam secara umum dari
substansi materi hukum- hukum syara
yang begitu banyak, dan dengan Qawaid
fiqhiyyah tersebut dapat dipahami dengan mudah dari kaidah- kaidah tersebut
dapat dipahami dengan mudah dari kaidah- kaidah tersebut.
2.
Pengertian Qawaid Fiqhiyyah
Istilah Qawaid fiqhiyyah terdiri dari dua kata
yaitu kata qawa’id dan fiqhiyyah. Qawaid secara etimologis adalah jama dari Qaidahyang artinya adalah
asas, dasar atau fondasi baik yang bersifat abstrak maupun konkrit, seperti
kata- kata qawaid al-bait, yang
artinya fondasi rumah, qawaid al-din,
artinya dasar- dasar agama, qawaid
al-‘ilmi, artinya kaidah- kaidah ilmu.
Dalam istilah ahli
gramatika bahasa Arab, kaidah antara lain bermakna :
Ø Dhabit yang mempunyai
makna hukum kulli yang mencakup bagian- bagiannya (partikular).
Ø Proposisi yang bersifat
universal (kulli) yang dapat diaplikasikan kepada seluruh bagian- bagiannya
(juz’inya)
Ø Suatu hukum dominan
yang mencakup seluruh bagiannya.
Dari
bebrapa pengertian kaidah tersebut dapat disimpulkan bahwa kaidah merupakan suatu
ketentuan umum/ universal yang dapat diaplikasikan kepada seluruh bagian- bagiannya
dan ketentuan dari bagian- bagian tersebut dapat diketahui dengan memahami
ketentuan umum itu.
Sedangkan
makna fikih menurut istilah adalah pengetahuan tentang hukum- hukum syariah
Islam mengenai perbuatan manusia yang diambil dari dalil- dalil secara detail,
atau kodifikasi hukum- hukum syariah Islam tentang perbuatan manusiayang
diambil dari dalil- dalil secara detail.
Jadi,
pengertian Qawaid fiqhiyyah adalah
kaidah atau dasar fikih yang bersifat umum yang substansi materinya meliputi
bagian yang ‘banyak sekali berkaitan dengan hukum- hukum syara’ dan hukum-
hukum syara yang banyak tersebut dapat dipahami dari kaidah- kaidah tadi.
3.
Sejarah
Kemunculan Qawaid Fiqhiyyah
Kaidah- kaidah kulliyah
atau kaidah- kaidah yang bersifat umum ini sering diistilahkan dengan al-
asybah wa al-nazhair. Pengambiloan istilah ini menurut Hasbi al Shiddiqie
dimungkinkan bersumber dari perkataan Umar kepada Abu Hasan al-Asya’ari. Tidak
diketahui secara pasti mengenai kapan dan siapa yang pertama kali yang
menggagas pembentukan kaidah fikih ini. Ada yang berpendapat bahwa qawaid
fiqhiyyah ini telah ada sejak awal perkembangan Islam yang terformulasi dalam
hadis- hadis nabi yang bersifat jawami ‘ammah (singkat dan padat ) seperti
al-kharaf bila dhaman, la dharara wa la dhirara, dsb dan atsar (pernyataan)
sahabat yang dikategorikan jawami al- kalim dan qaidah qaidah fiqhiyyah. Dari
hadis dan atsar sahabat tersebut kemudian berpengaruh kuat terhadap fikih-
fikih sesudahnya. Terkadang kaidah tersebut dijadikan sebagai penjelasan
(syariah) atas hadis Nabi Muhammad SAW.
Walaupun demikian, para
ulama di bidang kaidah fikih mengakui bahwa kalangan fukuha Hanafiah merupakan
generasi pertama yang mengkaji qawaid fhiqiyyah. Hal ini mengingat begitu
banyaknya furu’ (ketentuan hukum yang bersifat bagian) dari para iamam
mazhabnya yang berkembang pada waktu itu, yang terkadang sulit dihadapi dan
diidentifikasi, sehingga mendorong untuk membuat kaidah- kaidah tersebut.
Pengumpulan qawaid
fhiqiyyah dalam mazhab Hanafi ini dilakukan pertama kali oleh Abu Thahir al-
Dabbas al- Hanafi, seorang ulama yang hidup pada abad III dan IV H, yang
kemudian oleh para ahli dianggap sebagai penyusun pemula kitab qawaid fhiqiyyah.
Dia mengumpulkan sebanyak 17 buah kaidah yang terpenting dari mazhab Hanafi,
Abu Thahir selalu mengulang- ulang kaidah tersebut di masjid, setelah para
jamaah pulang ke rumahnya masing- masing.
Kemudian abu Said al-
Harawi al- syafi’i (488 H), seorang ulama mazhab Syafi’i mengunjungi Abu Thahir
dan mencatat kaidah fikih yang dihapalkan oleh Abu Thahir. Terdapat 5 kaidah
fikih yang teridentifikasi dicatat oleh Abu Said al- Harawi dari Abu Thahir
tersebut. Kelima kaidah ini adalah:
1. Segala
sesuatu itu bergantung kepada maksud pelakunya
2. Kemudharatan
itu harus dihilangkan
3. Adat
kebiasaan itu menjadi hakim
4. Keyakinan
itu tidak bisa dihilangkan lantaran munculnya kerugian
5. Kesukaran
itu mendatangkan kemudahan
Sejak
itu kemudian kajian kaidah fikih menjadi marak baik dari segi jumlah kaidah
fikih yang muncul maupun dari kitab- kitab yang menyusun kaidah fikih tersebut.
Pada abad VIII-IX hijriyah dinilai sebagai masa keemasan penyusunan buku- buku
kaidah fikih. Lebih dari 10 antara lain:
1. Al-
Asybah wa al-Nadzhair karya Ibn Wakil al- Syafi’i (716H)
2. Kitab
al- qawaid karya Al- maqqari al-Maliki (758H)
3. Al-
Asybah wa al-Nadzhair karya al- Subaki al-Syafi’i (771H)
4. Al-
Asybah wa al-Nadzhair karya al-Isnawi (772H)
5. Qawa’id
fi al-fiqh karya al-Zarkasi al-Hambali (795H)
6. Kitab
al-Qawa’id karya Ibn al- Mulaqin (804H)
7. Al-Qawa’id
wa al-Dhawabit karya Ibn Abdil Hadi (880H)
Begitu
juga pada abad- abad selanjutnya muncul kitab- kitab tentang kaidah fikih, baik
yang bersifat penyempurnaan dari kitab- kitab sebelumnya seperti kitab yang
disusun oleh Ibn al- Mulaqqin (804H) maupun melakukan kodifikasi dari kitab-
kitab sebelumnya seperti yang dilakukan Imam al-Suyuthi (911H) dalam al-Asybah
wa al-Nadzair nya. Ia melakukan kodifikasi dari kaidah- kaiidah fikih yang
paling penting dalam karya al-‘Alai (761H), al-Subki (771H), dan al-Zarkasyi
(794H). Begitu juga yang dilakukan Ibn Nujaim al-Hanafi (970H), ia telah
menyusun kitab qawaid fiqhiyyah dengan nama al-asybah wa al- nazhair.
Pengkodifikasian
qawaid fiqhiyyah mencapai puncaknya ketika tersusun majallah al-ahkam
al-‘adliyyah oleh komite (lajnah) fuqaha pada masa Sultan al-Ghazi Abdul Aziz
Khan al- Usmani (1861-1876H), pada akhir abad XIII H (1292H). Dalam penyusunan
majallah ini komite telah melakukakn penelitian pustaka terhadap kaidah- kaidah
yang ada sebelumnya terutama kitab al-Asybah wa al-Nadzair karya Ibnu Nujaim
(970H) dan Majami’ al- Haqaiq karya al-Khadimi (1176H). Komite dengan selektif
memilih dan memilah kaidah yang akan dimasukkakn ke dalam majalluh. Dalam
penyusunannya, komite menggunakan redaksi yang singkat seperti undang-
undang(qanun). Dalam majallah al-Ahkam ini terdiri dari 16 buku dengan 1851
pasal. Pada buku pertama memuat antara lain tentang kaidah- kaidah fikih (hukum
Islam) sebanyak 99 kaidah dan transaksi jual beli (Pasal 101 s.d. 403) dan
selanjutnya mengenai transaksi- transaksi mu’amalah dalam islam termasuk proses
beracraa pengadilan.
Dengan
demikian, kemunculan qawaid fiqhiyyah menjadi sebuah disiplin ilmu yang berdiri
terjadi secara berangsur- angsur dan bertahap. Pada awalnya hanya berupa
pemikiran tentang suatu persoalan, kemudian setelah pemikiran tersebut mantap,
baru terbentuk menjadi sebuah kaidah.
4. Proses
Dan Kegunaaan Kaidah Fikih
Proses pembentukan
kaidah fikih ini terjadi antara lain didorong oleh karena adanya kebutuhan
memahami materi ketentuan hukum(fikih) yang begitu banyak. dengan adanya kaidah
fikih ini dharapkan persoalan- persoalan yang muncul di masyarakat, dapat
memperoleh jawaban secara cpat dan tepat sesuai dengan ketentuan hukum Islam
yang ada dalam Al-Quran dan Sunnah, serta dengan metodologi (ushul fikih) yang
akurat.
Dengan latar belakang
tersebut, maka proses pembentukan kaidah fikih, sebagai mana dijelaskan A
Djazuli, bermula dari sumber hukum Islam yaitu Al-Quran dan Hadis, kemudian
muncul ushul fikih sebagai metodologi dalam penarikan hukum islam. Dengan
menggunakan metodologi ushul fikih yang menggunakan pola pikir deduktif
menghasilkan fikih. Fikih ini banyak materinya. Dari materi fikih yang banyak
tersebut kemudian diteliti persamaan dengan menggunakan pola pikir induktif,
kemudian dikelompokkan, dan tiap- tiap kelompok merupakan kumpulan dari
masalah- masalah yang serupa, akhirnya disimpulkan menjadi kaidah- kaidah
fikih. Kaidah- kaidah ini bersifat sementara, lalu agar kaidah tersebut mapan,
maka tindakan selanjutnya adalah melakukan kritisasi terhadap kaidah- kaidah
tadi dengan banyak ayat dan hadis, terutama kesesuaiannya dengan ayat Al-Quran
dan Hadis nabi. Setelah proses kritisasi, maka barulah kaidah ini menjadi
kaidah fikih yang mapan. Apabila sudah menjadi kaidah yang mapan, maka para
ulama menggunakan kaidah tadi untuk menjawab persoalan- persoalan yang terjadi
dalam masyarakat, baik di bidang sosial, ekonomi, politik, dan budaya serta
lainnya yang kemudian memunculkan fikih- fikih baru. Hasil dari jawaban
terhadap ermasalahan tersebut kemudian menghasilkan fatwa- fatwa, yang kemudian
sebagian dijadikan dasar oleh negara dalam menyusun peraturan perundang-
undangan (Qanun).
Kegunaan kaidah- kaidah fikih antara lain adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui asas- asas umum fikih.
2. Lebih mudah menetapkan masalah- masalah yang dihadapi.
3. Lebih arif dalam menerapkan fikih sesuai dengan waktu dan tempat yang
berbeda untuk keadaan dan adat kebiasaan yang berlainan.
4. Dapat memberikan jalan keluar dari berbagai perbedaan pendapat di
kalangan ulama atau setidak- tidaknya menguatkan pendapat yang lebih mendekati
kepada kaidah- kaidah fikih.
5. Akan mengetahui rahasia- rahasia dan semangat hukum- hukum Islam yang
akan tersimpul dalam kaidah- kaidah fikih.
6. Akan memiliki keleluasaan ilmu dan ijtihadnya mendekati kepada
kebenaran, kebaikan, dan keindahan.
Baca Juga : Kaidah-Kaidah Fikih Tentang Keuangan Islam
Baca Juga : Kaidah-Kaidah Fikih Tentang Keuangan Islam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar