1. Pada
dasarnya semua bentuk mu’amalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang
mengharamkan
2. Hukum
dasar dari segala sesuatu adalah boleh, sehingga terdapat dalil yang
mengharamkan
Contoh penerapan kaidah-kaidah ini antara lain dalam
masalah produk penghimpunan dana seperti simpanan berupa giro, tabungan, dan
deposito. Berdasarkan kaidah tersebut di atas tidak ada dalil yang
mengharamkannya, maka simpanan berupa giro dibolehkan dengan berdasarkan
prinsip mudharabah dan wadiah. Hal ini diperbolehkan selama
tidak ada unsur gharar atau ketidakjelasan yang sifatnya untung-untungan
seperti judi, atau tidak mengandung riba.
3. Bahaya
harus dihilangkan
Contoh penerapannya adalah seperti seseorang tidak
dapat membayar hutangnya secara langsung. Untuk memghilangkan bahaya/beban
hutangnya ia boleh memindahkan penagihannya kepada pihak lain, dalam hokum
Islam disebut dengan hawalah atau hiwalah, yaitu akad pengalihan hutang
dari satu pihak yang berhutang kepada pihak yang wajib membayarnya. Untuk
menunjukkan kesungguhan nasabah dalam pembayaran murabahah, agar tidak terjadi
mudharat atau bahaya dikemudian hari, pada saat nasabah mengajukan permohonan
pembiayaan, bank syariah boleh meminta uang muka transaksi dalam pembiayaan
murabahah tersebut.
4. Dimana
terdapat kemaslahatan, disana terdapat hukum Allah
Contoh penerapannya adalah dalam system pencatatan
dan pelaporan akuntansi keuangan. Dalam system pencatatan akuntansi terdapat
dua system, yaitu prinsip akuntansi yang mengharuskan pengakuan biaya dan
pendapatan pada saat terjadinya (cash
basis), dan prinsip akuntansi yang membolehkan pengakuan biaya dan
pendapatan didistribusikan pada beberapa periode (accrual basis). Kedua system tersebut boleh digunakan untuk
keperluan distribusi hasil usaha dalam LKS karena mendatangkan maslahat.
5. Hukum
asal dalam transaksi adalah kerelaan kedua belah pihak yang berakad. Akibat
adanya kerelaan tersebut, sahnya akad yang dilakukan
6. Dasar
dari akad adalah kerelaan kedua belah pihak
Sebuah transaksi barulah sah apabila didasarkan pada
kerelaan kedua belah pihak dan tidak ada salah satu pihak pun yang berada dalam
keadaan terpaksa atau dipaksa atau merasa tertipu. Hal ini diwujudkan dalam
perjanjian/akad serta form yang ditandatangai oleh pihak-pihak yang melakukan
akad.
7. Setiap
utang-piutang yang mendatangkan manfaat (bagi yang berpiutang/muqridh) adalah
riba
Contoh penerapan kaidah ini misalnya LKS di samping
sebagai lembaga komersial, harus dapat berperan sebagai lembaga sosial yang
dapat meningkatkan perekonomian secara maksimal, yaitu antara lain dengan
qardh, yaitu suatu akad pinjaman kepada nasabah dengan dengan ketentuan bahwa
nasabah wajib mengembalikan dana yang diterimanya kepada LKS pada waktu yang
telah disepakati bersama, tidak boleh LKS mengambil keuntungan/bunga dalam hal
ini, tetapi kepada nasabah boleh dibebankan biaya administrasi.
8. Mudharat
harus dihindarkan sedapat mungkin
Contoh penerapannya misalnya dalam menyongsong masa
depan dan upaya mengantisipasi kemungkinan terjadinya risiko dalam kehidupan
ekonomi yang akan dihadapi perlu dipersiapkan sejumlah dana tertentu sejak
dini. Hal ini dilakukan dengan cara asuransi yang tidak mengandung gharar
(penipuan), maysir (perjudian), riba, dan zhulm (penganiayaan).
9. Kesulitan
itu dapat menarik kemudahan
Penerapannya dalam akad jual beli Istishna. LKS
umumnya membuat Istishna bersifat parallel, yaitu sebuah bentuk akad istishna’
antara nasabah dengan LKS, kemudian untuk memenuhi kewajibannya kepada nasabah,
LKS memerlukan pihak lain sebagai shani’
(pembuat) pada obyek yang sama, karena LKS sulit membuat atau menyiapkan barang
yang menjadi tanggungjawabnya kepada nasabah.
10. Keperluan
itu dapat menduduki posisi darurat
Dalam akad jual-beli, hanya dibolehkan/dianggap sah
apabila syarat dan rukunnya telah terpenuhi, di antaranya ialah bahwa obyek
akad jual-beli telah terwujud. Tanpa suatu alasan yang bersifat darurat atau
keperluan yang mendesak, tidak boleh diadakan keringanan dengan penyimpangan
dari hokum tersebut. Demi kelancaran/kemudahan hidup atau untuk menghilangkan
kesulitan diberikan keringanan dalam akad jual beli, yakni dianggap sah
jual-beli meskipun obyek hokum belum terwujud, seperti pada akad salam, hanya
menyebutkan sifat-sifat barang yang dipesan.
11. Adat
kebiasaan dapat ditetapkan sebagai hukum
12. Sesuatu
yang berlaku berdasarkan adat kebiasaan sama dengan sesuatu yang berlaku
berdasarkan syara’ (selama tidak bertentangan dengan syara’)
Kebiasaan-kebiasaan yang bermanfaat dan tidak
bertentangan dengan syara’ dalam mu’amalat seperti jual-beli, sew-menyewa,
kerjasama pemilik sawah dengan penggarapnya dan sebagainya. Bila terjadi
perselisihan pendapat di antara mereka, maka penyelesaiannya harus dikembalikan
pada adat kebiasaan atau ‘urf yang
berlaku. Demikian pula dalam perkawinan seperti banyaknya mahar dan nafkah.
Sedangkan adat kebiasaan yang berlawanan dengan nash-nash syara’ atau
bertentangan dengan jiwanya (ruh al-tasyri’, seperti kebiasaan suap-menyuap, disajikannya
minuman keras dan saran perjudian dalam pesta-pesta dan lain-lain, tentu tidak
boleh dijadikan dasar hukum, karena masalah-masalah tersebut jelas dilarang
berdasarkan nash-nash syara’.
13. Tindakan
iman (pemegang otoritas) terhadap rakyat harus mengikuti maslahat
Contoh penerapannya :
a.
Pelaksanaan
pengendalian moneter berdasarkan prinsip syariah dan upaya untuk mengatasi
kelebihan likuiditas Bank Syariah diperlukan instrument yang diterbitkan Bank
Sentral yang sesuai dengan syariah. Bank Indonesia selaku bank sentral boleh
menerbitkan instrument moneter berdasarkan prinsip syariah yang dinamakan
Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS). Akad yang digunakan yaitu, akad
ju’alah, yaitu janji atau komitmen (iltizam) untuk memberikan imbalan tertentu (‘iwadh/ju’l)
atas pencapaian hasil (natijah) yang ditentukan dari suatu pekerjaan.
b.
Pemerintah
boleh menggusur perkampungan rakyat untuk kepentingan sarana umum dengan
imbalan ganti untung yang adil.
14. Mencegah
mafsadah (kerusakan) harus didahulukan dari pada mengambil kemaslahatan
Perwujudkan kaidah ini adalah dengan adanya
instrument Pasar Uang Antar Bank (PUAS). PUAS merupakan bank yang melakukan
kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah yang membantu peningkatan efisiensi
pengelolaan dana.
15. Yang
dipandang (dipegang) dalam akad adalah maksud-maksud dan makna-makna, bukan
lafaz-lafaz dan bentuk-bentuk perkataan
Apabila dalam suatu akad terjadi suatu perbedaan
antara maksud dari si pembuat akad dengan lafaz yang diucapkannya, maka yang
harus dipegang sebagai suatu akad adalah maksudnya, selama yang demikian itu
masih dapat diketahui.
16. Yang
pokok (yang kuat) adalah tetap berlakunya apa (hukum) yang ada menurut
keadaannya semula
Apabila seseorang menjumpai keraguan mengenai hukum
suatu perkara, maka diberlakukan hokum yang telah ada atau yang ditetapkan pada
masa yang telah lalu, sampai ada hukum lain yang merubahnya, karena apa yang
telah ada lebih dapat diyakini.
17. Pada dasarnya manusia adalah bebas dari tanggungan
Contoh penerapannya :
pada dasarnya manusia adalah
bebas, tidak mempunyai tanggungjawab terhadap hak-hak orang lain. Adanya beban
tanggungjawab adalah karena adanya hak-hak yang telah dimiliki atau
perbuatan-perbuatan yang telah dia lakukan.
18. “(Hukum yang lebih kuat dari sesuatu) asalnya tidak ada”
kaidah tersebut lazimnya
berlaku pada yang sedang berperkara. Sebagai contoh, jika seseorang yang
menjalankan modal (mudharib) melaporkan tentang perkembangan usahanya kepada
pemilik modal (shahib al-mal), bahwa ia belum memperoleh keuntungan, atau telah
memperoleh keuntungan tetapi sedikit, maka laporan mudharib/ pengelola itu yang
dibenarkan, karena dari awal adanya akad mudharabah memang belum diperoleh laba
dan keadaan ini sudah nyata, sedangkan keuntungan yang diharap-harapkan itu
adalah suatu hal yang belum terjadi/ belum ada.
19. Asal (hukum yang lebih kuat) dari tiap-tiap kejadian perkiraan waktunya
adalah waktu yang terdekat
Contohnya, seorang pembeli
TV menggugat penjualannya karena setibanya di rumah TV rusak tidak dapat
dihidupkan. Gugatan pembeli tidak dapat diterima karena menurut asalnya pesawat
TV itu terjual dalam keadaan baik. Kemungkinan besar kerusakan TV itu adalah
pada waktu perjalanan kerumahnya, karena itulah waktu yang terdekat dengan
pembeliannya.
20. Pada dasarnya arti sesuatu kalimat adalah arti hakikatnya
Jika suatu ucapan bisa
diartikan secara hakiki dan bisa pula diartikan secara majazi, maka berdasarkan
kaidah ini arti hakiki yang harus dipegangi.
21. “Tidak boleh berbuat kemudharatan pada diri sendiri dan berbuat
kemadharatan pada orang lain”
Di dalam mu’amalat,
mengembalikan barang yang telah dibeli lantaran adanya cacat dibolehkan.
Demikian pula macam-macam khiyar dalam transaksi jual beli karena terdapat
beberapa siat yang tidak sesuai dengan yang telah disepakati. Larangan terhadap
al-mahjur, al-muflis, dan al-safih untuk bertransaksi dan syuf’ah.
22. Kemudharatan-kemudharatan itu membolehkan hal-hal yang dilarang
23. Tidak ada hukum haram beserta darurat dan hukum makruh beserta kebutuhan
Dari kedua kaidah tersebut
dapat disimpulkan bahwa dalam keadaan sangat terpaksa, maka orang diizinkan
melakukan perbuatan yang dalam keadaan biasa terlarang, karena apabila tidak
demikian, mungkin akan menimbulkan sesuatu kemudharatan pada dirinya.
Baca Juga : Kaidah-Kaidah Fikih Tentang Keuangan Islam (2/2)
Baca Juga : Kaidah-Kaidah Fikih Tentang Keuangan Islam (2/2)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar