Jumat, 09 Desember 2016

Kaidah-Kaidah Fikih Tentang Keuangan Islam (1/2)

1.      Pada dasarnya semua bentuk mu’amalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkan
2.      Hukum dasar dari segala sesuatu adalah boleh, sehingga terdapat dalil yang mengharamkan 
Contoh penerapan kaidah-kaidah ini antara lain dalam masalah produk penghimpunan dana seperti simpanan berupa giro, tabungan, dan deposito. Berdasarkan kaidah tersebut di atas tidak ada dalil yang mengharamkannya, maka simpanan berupa giro dibolehkan dengan berdasarkan prinsip mudharabah dan wadiah. Hal ini diperbolehkan selama tidak ada unsur gharar atau ketidakjelasan yang sifatnya untung-untungan seperti judi, atau tidak mengandung riba.
3.      Bahaya harus dihilangkan
Contoh penerapannya adalah seperti seseorang tidak dapat membayar hutangnya secara langsung. Untuk memghilangkan bahaya/beban hutangnya ia boleh memindahkan penagihannya kepada pihak lain, dalam hokum Islam disebut dengan hawalah atau hiwalah, yaitu akad pengalihan hutang dari satu pihak yang berhutang kepada pihak yang wajib membayarnya. Untuk menunjukkan kesungguhan nasabah dalam pembayaran murabahah, agar tidak terjadi mudharat atau bahaya dikemudian hari, pada saat nasabah mengajukan permohonan pembiayaan, bank syariah boleh meminta uang muka transaksi dalam pembiayaan murabahah tersebut.
4.      Dimana terdapat kemaslahatan, disana terdapat hukum Allah
Contoh penerapannya adalah dalam system pencatatan dan pelaporan akuntansi keuangan. Dalam system pencatatan akuntansi terdapat dua system, yaitu prinsip akuntansi yang mengharuskan pengakuan biaya dan pendapatan pada saat terjadinya (cash basis), dan prinsip akuntansi yang membolehkan pengakuan biaya dan pendapatan didistribusikan pada beberapa periode (accrual basis). Kedua system tersebut boleh digunakan untuk keperluan distribusi hasil usaha dalam LKS karena mendatangkan maslahat.
5.      Hukum asal dalam transaksi adalah kerelaan kedua belah pihak yang berakad. Akibat adanya kerelaan tersebut, sahnya akad yang dilakukan
6.      Dasar dari akad adalah kerelaan kedua belah pihak
Sebuah transaksi barulah sah apabila didasarkan pada kerelaan kedua belah pihak dan tidak ada salah satu pihak pun yang berada dalam keadaan terpaksa atau dipaksa atau merasa tertipu. Hal ini diwujudkan dalam perjanjian/akad serta form yang ditandatangai oleh pihak-pihak yang melakukan akad.
7.      Setiap utang-piutang yang mendatangkan manfaat (bagi yang berpiutang/muqridh) adalah riba
Contoh penerapan kaidah ini misalnya LKS di samping sebagai lembaga komersial, harus dapat berperan sebagai lembaga sosial yang dapat meningkatkan perekonomian secara maksimal, yaitu antara lain dengan qardh, yaitu suatu akad pinjaman kepada nasabah dengan dengan ketentuan bahwa nasabah wajib mengembalikan dana yang diterimanya kepada LKS pada waktu yang telah disepakati bersama, tidak boleh LKS mengambil keuntungan/bunga dalam hal ini, tetapi kepada nasabah boleh dibebankan biaya administrasi.
8.      Mudharat harus dihindarkan sedapat mungkin
Contoh penerapannya misalnya dalam menyongsong masa depan dan upaya mengantisipasi kemungkinan terjadinya risiko dalam kehidupan ekonomi yang akan dihadapi perlu dipersiapkan sejumlah dana tertentu sejak dini. Hal ini dilakukan dengan cara asuransi yang tidak mengandung gharar (penipuan), maysir (perjudian), riba, dan zhulm (penganiayaan).
9.      Kesulitan itu dapat menarik kemudahan
Penerapannya dalam akad jual beli Istishna. LKS umumnya membuat Istishna bersifat parallel, yaitu sebuah bentuk akad istishna’ antara nasabah dengan LKS, kemudian untuk memenuhi kewajibannya kepada nasabah, LKS memerlukan pihak lain sebagai shani’ (pembuat) pada obyek yang sama, karena LKS sulit membuat atau menyiapkan barang yang menjadi tanggungjawabnya kepada nasabah.
10.  Keperluan itu dapat menduduki posisi darurat
Dalam akad jual-beli, hanya dibolehkan/dianggap sah apabila syarat dan rukunnya telah terpenuhi, di antaranya ialah bahwa obyek akad jual-beli telah terwujud. Tanpa suatu alasan yang bersifat darurat atau keperluan yang mendesak, tidak boleh diadakan keringanan dengan penyimpangan dari hokum tersebut. Demi kelancaran/kemudahan hidup atau untuk menghilangkan kesulitan diberikan keringanan dalam akad jual beli, yakni dianggap sah jual-beli meskipun obyek hokum belum terwujud, seperti pada akad salam, hanya menyebutkan sifat-sifat barang yang dipesan.
11.  Adat kebiasaan dapat ditetapkan sebagai hukum
12.  Sesuatu yang berlaku berdasarkan adat kebiasaan sama dengan sesuatu yang berlaku berdasarkan syara’ (selama tidak bertentangan dengan syara’)
Kebiasaan-kebiasaan yang bermanfaat dan tidak bertentangan dengan syara’ dalam mu’amalat seperti jual-beli, sew-menyewa, kerjasama pemilik sawah dengan penggarapnya dan sebagainya. Bila terjadi perselisihan pendapat di antara mereka, maka penyelesaiannya harus dikembalikan pada adat kebiasaan atau ‘urf yang berlaku. Demikian pula dalam perkawinan seperti banyaknya mahar dan nafkah. Sedangkan adat kebiasaan yang berlawanan dengan nash-nash syara’ atau bertentangan dengan jiwanya (ruh al-tasyri’, seperti kebiasaan suap-menyuap, disajikannya minuman keras dan saran perjudian dalam pesta-pesta dan lain-lain, tentu tidak boleh dijadikan dasar hukum, karena masalah-masalah tersebut jelas dilarang berdasarkan nash-nash syara’.

13.  Tindakan iman (pemegang otoritas) terhadap rakyat harus mengikuti maslahat
Contoh penerapannya :
a.       Pelaksanaan pengendalian moneter berdasarkan prinsip syariah dan upaya untuk mengatasi kelebihan likuiditas Bank Syariah diperlukan instrument yang diterbitkan Bank Sentral yang sesuai dengan syariah. Bank Indonesia selaku bank sentral boleh menerbitkan instrument moneter berdasarkan prinsip syariah yang dinamakan Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS). Akad yang digunakan yaitu, akad ju’alah, yaitu janji atau komitmen (iltizam) untuk memberikan imbalan tertentu (‘iwadh/ju’l) atas pencapaian hasil (natijah) yang ditentukan dari suatu pekerjaan.
b.      Pemerintah boleh menggusur perkampungan rakyat untuk kepentingan sarana umum dengan imbalan ganti untung yang adil.
14.  Mencegah mafsadah (kerusakan) harus didahulukan dari pada mengambil kemaslahatan
Perwujudkan kaidah ini adalah dengan adanya instrument Pasar Uang Antar Bank (PUAS). PUAS merupakan bank yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah yang membantu peningkatan efisiensi pengelolaan dana.
15.  Yang dipandang (dipegang) dalam akad adalah maksud-maksud dan makna-makna, bukan lafaz-lafaz dan bentuk-bentuk perkataan
Apabila dalam suatu akad terjadi suatu perbedaan antara maksud dari si pembuat akad dengan lafaz yang diucapkannya, maka yang harus dipegang sebagai suatu akad adalah maksudnya, selama yang demikian itu masih dapat diketahui.
16.  Yang pokok (yang kuat) adalah tetap berlakunya apa (hukum) yang ada menurut keadaannya semula
Apabila seseorang menjumpai keraguan mengenai hukum suatu perkara, maka diberlakukan hokum yang telah ada atau yang ditetapkan pada masa yang telah lalu, sampai ada hukum lain yang merubahnya, karena apa yang telah ada lebih dapat diyakini.
17.  Pada dasarnya manusia adalah bebas dari tanggungan
Contoh penerapannya :
pada dasarnya manusia adalah bebas, tidak mempunyai tanggungjawab terhadap hak-hak orang lain. Adanya beban tanggungjawab adalah karena adanya hak-hak yang telah dimiliki atau perbuatan-perbuatan yang telah dia lakukan.
18.  “(Hukum yang lebih kuat dari sesuatu) asalnya tidak ada”
kaidah tersebut lazimnya berlaku pada yang sedang berperkara. Sebagai contoh, jika seseorang yang menjalankan modal (mudharib) melaporkan tentang perkembangan usahanya kepada pemilik modal (shahib al-mal), bahwa ia belum memperoleh keuntungan, atau telah memperoleh keuntungan tetapi sedikit, maka laporan mudharib/ pengelola itu yang dibenarkan, karena dari awal adanya akad mudharabah memang belum diperoleh laba dan keadaan ini sudah nyata, sedangkan keuntungan yang diharap-harapkan itu adalah suatu hal yang belum terjadi/ belum ada.
19.  Asal (hukum yang lebih kuat) dari tiap-tiap kejadian perkiraan waktunya adalah waktu yang terdekat
Contohnya, seorang pembeli TV menggugat penjualannya karena setibanya di rumah TV rusak tidak dapat dihidupkan. Gugatan pembeli tidak dapat diterima karena menurut asalnya pesawat TV itu terjual dalam keadaan baik. Kemungkinan besar kerusakan TV itu adalah pada waktu perjalanan kerumahnya, karena itulah waktu yang terdekat dengan pembeliannya.
20.  Pada dasarnya arti sesuatu kalimat adalah arti hakikatnya
Jika suatu ucapan bisa diartikan secara hakiki dan bisa pula diartikan secara majazi, maka berdasarkan kaidah ini arti hakiki yang harus dipegangi.
21.  “Tidak boleh berbuat kemudharatan pada diri sendiri dan berbuat kemadharatan pada orang lain”
Di dalam mu’amalat, mengembalikan barang yang telah dibeli lantaran adanya cacat dibolehkan. Demikian pula macam-macam khiyar dalam transaksi jual beli karena terdapat beberapa siat yang tidak sesuai dengan yang telah disepakati. Larangan terhadap al-mahjur, al-muflis, dan al-safih untuk bertransaksi dan syuf’ah.
22.  Kemudharatan-kemudharatan itu membolehkan hal-hal yang dilarang
23.  Tidak ada hukum haram beserta darurat dan hukum makruh beserta kebutuhan

Dari kedua kaidah tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam keadaan sangat terpaksa, maka orang diizinkan melakukan perbuatan yang dalam keadaan biasa terlarang, karena apabila tidak demikian, mungkin akan menimbulkan sesuatu kemudharatan pada dirinya. 

Baca Juga : Kaidah-Kaidah Fikih Tentang Keuangan Islam (2/2)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar