Bisnis modern merupakan realitas yang amat kompleks.
Banyak faktor yang mempengaruhi kegiatan bisnis. Ada faktor
organisatoris-manajerial, ilmiah-teknologis, dan politik-sosial-kultural.
Kompleksitas bisnis tersebut berkaitan langsung dengan kompleksitas masyarakat
modern sekarang. Sebagai kegiatan sosial, bisnis dengan banyak cara terjalin
dengan kompleksitas masyarakat modern tersebut. Bisnis sebagai kegiatan sosial
bisa disoroti sekurang-kurangnya dari tiga sudut pandang yang berbeda tetapi
tidak selalu mungkin dipisahkan dari sudut pandang ekonomi, hukum, etika.
Terdapat beberapa contoh kasus atau situasi bisnis konkret yang dapat dikihat
dari sudut pandang tersebut.
Kasus 1 : Industri Kimia
Marc Jones, usia 42 tahun, sudah selama 15 tahun bekerja untuk
Krimsons Corporation, sebuah perusahaan yang memproduksi bahan kimia yang
berbahaya. Karena dedikasinya kepada perusahaan selama itu selalu besar, Jones
dipromosikan menjadi manajer sebuah unit produksi yang penting.
Setelah tiga minggu bertugas, ia dipanggil oleh manajer kepala,
Kevin Lombard, Karena yang terakhir ini merasa kurang puas dengan prestasi
Jones. Ia mengeluh, karena sejak Jones mengambil alih tugas dari pendahulunya
irama produksi di unitnya menurun dengan cukup mencolok. Lombard menegaskan
bahwa keadaan itu tidak bisa diterima. Jones diberi pesan: ”Tingkatkanlah laju
produksi,minimal sampai taraf sebelumnya”.
Jones tentu kaget karena teguran yang tidak disangka-sangka itu.
Ia menyelidiki masalahnya dan menemukan bahwa pendahulunya hanya dapat mencapai
laju produksi setinggi itu, karena ia tidak teliti dalam menerapkan
aturan-aturan keamanan. Jones menyadari bahwa dengan cara kerja itu
pendahulunya mengambil resiko besar, baik untuk karyawan perusahaan maupun
untuk lingkungan hidup disekitar pabrik. Namun pendahulunya itu mujur. Selama
ia bertugas tidak terjadi kecelakaan yang berarti. Beberapa peristiwa kecil
dapat diatasinya sendiri, sehingga bisa disembunyikan untuk dunia luar.
Jones melaporkan hal itu kepada bosnya. Ia yakin, dengan demikian
bertindak demi kepentingan perusahaan. Betapa besar keheranan Jones, ketika
mendengar jawaban Lombard: “Saya tidak bisa memperhatikan detail-detail” dan
“Bagaimanapun juga, Saudara harus sanggup mempertahankan tingkat produksi
sebelumnya”. Lagi pula, Lombard mulai meragukan apakah Jones itu orang yang
tepat untuk job baru tersebut. “Bukankah Saudara terlalu melebih-lebihkan?
Saudara bersikap pengecut dengan membayang-bayangkan khayalan yang kurang
realistis. Dulu tidak pernah ada masalah!”.
(Sumber: J.Verstraeten/ J.Van Gerwen, Business en Ethiek,
Tielt (Belgium), Lannoo, 1990, hlm.15.)
Kasus 2 : Perusahaan W.V.K.
PT W.V.K adalah perusahaan besar yang ingin
mengganti sistem komputernya, karena membutuhkan computer tipe baru yang lebih
canggih. Mereke menghubungi PT CTA yang dapat memasok computer yang dicari.
Proses penggantian computer direncanakan akan selesai dalam satu tahun. Apabila
proses penggantian berlangsung lebih lama, PT W.V.K akan mengalami kerugian
cukup besar. Kepala bagian penjualan PT CTA meragukan perusahaannya mampu
memenuhi permohonan ini tepat waktu, karena computer yang dicari itu popular,
sehingga produsen belum tentu dapat memenuhi permintaan pada waktunya. Tahap
pertama dari pesanan pasti dapat ia penuhi, tetapi sesudahnya masih ragu. Di
sisi lain ia mengkhawatirkan order ratusan juta rupiah ini akan diberikan
kepada perusahaan lain, bila ia menyatakan keraguannya untuk memenuhi
permintaan tepat waktu. Ia memilih untuk diam saja.
Kasus 3 : Perusahaan Asbes
Perusahaan
Amerika “Kansas Asbestos Company” bergerak di bidang produk asbes. Ketika pada
tahun 1970-an semakin banyak peraturan mempersulit produksi dan mengakibatkan
biaya produksi naik, direksi perusahaan memutuskan untuk memindahkan semua
pabriknya ke suatu negara Afrika Barat. Jika dihirup dalam kuantitas cukup besar,
serat asbes diketahui mengakibatkan penyakit asbestosis (dalam jangka pendek)
dan jugakanker paru (dalam jangka panjang). Di Afrika tidak ada peraturan yang
melindungi pekerja terhadap occupational diseases ini. Juga, dibanding dengan
Amerika Serikat, tenaga kerja di Afrika jauh lebih murah.
Kasus 4 : Kerahasiaan Bank
"Rahasia
Bank" merupakan suatu prinsip etis yang umum dan hampir semua negara
mempunyai peraturan hukum yang mengatur kerahasiaan itu. Relasi antara nasabah
dan bank merupakan suatu relasi kepercayaan. Bank tentu tidak berlaku etis bila
memberitahukan kepada pihak lain tentang kekayaan yang oleh orang tertentu
dititipkan kepadanya. Tetapi kewajiban bank menjaga kerahasiaan tentu mengenal
batas. Sebab, ada kepentingan lain lagi yang harus diperhatikan kecuali nasabah
saja. Karena itu banyak negara mempunyai peraturan hukum yang memungkinkan
dinas pajak, misalnya, untuk mengontrol apakah nasabah bank membayar pajak dari
depositonya.
Peraturan
hukum tentang kerahasiaan bank di semua negara tidak sama. Ada negara yang
lebih lunak dan ada negara yang lebih ketat dalam melindungi kerahasiaan bank.
Beberapa negara kecil seperti Swiss dan Luxemburg cenderung lebih ketat dalam
melindungi rahasia nasabah di bank. Alasannya dapat dipahami. Sebagai negara
kecil mereka tidak bisa menarik banyak dana dari dalam negeri. Melindungi
rahasia bank merupakan salah satu upaya untuk menarik nasabah dari luar negeri.
Tetapi cara ini ada bahaya bahwa rahasia bank disalahgunakan. Dana yang
diperoleh dengan cara kurang etis (para baron obat bius, para penjabat kuruptor
dari luar negeri) dengan demikian "aman" terhadap pelacakan dari
luar. Instansi nasional yang memerangi kriminalitasi tidak bisa masuk di situ,
apalagi instansi luar negeri. Sehingga pada kenyataannya sistem itu bisa
menguntungkan para kriminal.
Kasus 5 : Live Aid
Nama
penyanyi Irlandia-Inggris, Bob Geldof, melejit ke popularitas global ketika ia
berhasil menyelenggarakan konser amal raksasa, serentak di Stadion Wembley di
London, Inggris, dan di Stadion John F. Kennedy di Philadelphia, Amerika
Serikat, pada 13 Juli 1985. Konser amal yang diberi nama Live Aid ini bertujuan
mengumpulkan dana untuk disalurkan sebagai bantuan bagi korban kelaparan di
Etiopia, Afrika. Banyak penyanyi kondang ikut serta dan konser ini disiarkan
melalui televisi ke seluruh pelosok dunia. Beberapa waktu kemudian sebuah kaset
rekaman Live Aid beredar, berisikan lagu-lagu yang dibawakan pada konser
tersebut. Kaset bajakan ini dibuat dari berbagai album yang sudah ada dan
dijual di beberapa negara Timur Tengah dan tempat lain. Ada yang mencantumkan made
in Indonesia, ada yang memakai pita cukai Indonesia, bahkan ada yang
mencantumkan catatan bahwa hasil keuntungan penjualan akan disumbangkan ke
Etiopia. Diperkirakan kaset ini dibajak oleh sekitar sepuluh perusahaan rekaman
Indonesia. Bob Geldof dan artis-artis lain tentu marah besar. Ia melontarkan
kampanye protes dalam media massa sedunia yang menuduh Indonesia tentang
perilaku tidak etis. Secara hukum, Indonesia tidak bisa ditindak karena pada
saat itu belum menandatangani Konvensi Bern tentang hak cipta internasional dan
di dalam negeri belum memiliki undang-undang yang melarang pembajakan macam
itu.
(Sumber: Tempo, 14 dan 21 Desember 1985)
Kasus 6 : Merek dagang Nike
Nike
adalah merek dagang untuk pakaian, dan alat-alat olah raga yang diproduksi oleh
Nike International Ltd. yang berkedudukan di Beaverton, Oregon, Amerika
Serikat. Pada tanggal 16 Desember 1986 Mahkamah Agung R.I. mengeluarkan
peninjauan kembali terhadap putusan MA tahun sebelumnya, tanggal 24 Juli 1985.
Dengan itu Nike International Ltd. dinyatakan mempunyai hak tunggal untuk
memakai merek dagang dan nama perniagaan Nike dari Daftar Umum Direktorat Paten
dan Hak Cipta dengan nomor 141.589, yang sudah terdaftar di situ sejak tahun
1980. Sebelumnya MA selalu memenangkan pengusaha Indonesia dalam sengketa merek
dengan pihak asing. Demikian juga pada 24 Juli 1985 PT. Panarub, milik Lucas
Sasmito, masih dimenangkan terhadap Nike International Ltd. Dengan peninjauan
kembali tersebut MA mengubahnya sikapnya. Konon, PT Panarub mulai memproduksi
sepatu olah raga Nike sejak tahun 1976, ketika merek Amerika belum dikenal di
Indonesia. Pada tahun 1980 ia menjadi pemilik merek dagang itu di Indonesia.
Sepatu Nike lokal dijual dengan kira-kira separo harga sepatu Nike Amerika.
Karena merasa disaingi secara curang, Nike International Ltd. pada tahun 1983
menggugat PT. Panarub di pengadilan. Pada tingkat pertama pihaknya dimenangkan.
Tetapi ketika perkara berlanjut ke tingkat kasasi, pada tahun 1985, pihak Nike
International Ltd. justru dikalahkan. Sebab, ketika gugatan itu diajukan ke
pengadilan pada tahun 1983, PT. Panarub telah resmi menjadi pemegang merek itu,
sejak haknya diumumkan dalam Tambahan Berita Negara 1980. Sementara itu dalam
Undang-Undang Merek disebutkan bahwa segala keberatan terhadap merek bisa
diajukan dalam waktu 9 bulan setelah diumumkan. Alasan itulah pada tahun 1986
diralat oleh MA. Sebab, Tambahan Lembaran Negara 1980 itu agar diketahui umum,
menutur majelis baru diterbitkan pada tahun 1985. Keterlambatan penerbitan itu,
menurut majelis, tidak boleh menyebabkan pihak yang beritikad buruk. Sebab,
ternyata pada tahun 1982 PT. Panarub pernah mengajak Nike International Ltd.
bekerja sama. Ketika itu mereka sudah tahu siapa pemilik merek yang asli.
(Sumber: Tempo, 21 Februari 1987)
Kasus 7 : Mengincar Pesangon
Ir.
Abraham Maruli Sitomorang, 39 tahun usianya, sudah 12 tahun lamanya bekerja
sebagai kepala bagian teknis di sebuah pabrik sepatu di Jawa Barat. Saudaranya
merencanakan membuka pabrik sejenis di Medan dan mengajak Pak Abraham pindah
kerja. Ia ditawari menjadi direktur bagian teknis di pabrik itu. Pabrik akan
beroprasi sesudah satu setengah tahun lagi. Kalau sempat, ia bisa ikut juga
dalam persiapan pabrik baru. Sesudah menerima tawaran ini, Pak Abaraham dengan
sengaja mengurangi disiplin kerja sampai suatu tingkatan yang cukup
mengkhawatirkan pimpinannya. Ia sering datang terlambat dan pulang sebelum
waktunya. Kadang-kadang ia sama sekali tidak masuk kerja tanpa memberitahukan
lebih dahulu. Ia juga tidak menyelesaikan tugas-tugasnya pada saat yang
diharapkan. Dengan kelakuan indisipliner ini Ir. Abraham berharap akan dipecat,
supaya ia dapat menerima pesangon yang cukup besar. Kecuali keluarganya, tidak
ada yang tahu tentang rencananya untuk pindah kerja.
SUDUT PANDANG EKONOMIS
Bisnis
adalah kegiatan ekonomis meliputi tukar-menukar, jual-beli,
memproduksi-memasarkan, bekerja-memperkejakan, dan interaksi manusiawai lainnya
dengan maksud memperoleh untung. Bisnis berlangsung sebagai komunikasi sosial
yang menguntungkan kedua belah pihak. Dipandang dari sudut ekonomis, good
business adalah bisnis yang membawa banyak untung.
Dalam
kasus 1 (Industri Kimia), Kevin Lombard ingin mempertahankan produktivitas
perusahaan selama itu. Perusahaan harus bersaing dengan perusahaan kimia
lainnya. Jika produktivitas menurun, maka biaya produksi meningkat, sehingga
harga produknya perlu dinaikkan. Tetapi harga produknya mungkin menjadi terlalu
tinggi dibanding dengan harga yang ditetapkan oleh pesaing. Akibatnya
perusahaan dapat memasuki "angka merah", situasi yang sangat ditakuti
oleh setiap manajer. Nasib seorang manajer itu sendiri berkaitan dengan
kemungkinan ini. Masuk akal bila Kevin Lombard menuntut Marc Jones
mempertahankan produk produktivitas yang sama seperti pendahulunya.
Dalam
kasus 2 (Pemasok Komputer), sang manajer ingin menjual sebanyak mungkin unit
komputer. Hal itu bertujuan agar perusahaan memperoleh untung yang maksimal.
Mungkim secara pribadi ia berkempentingan juga, karena mendapat untung ekstra
bila penjualan lancar, entah dalam bentuk bonus atau bentuk lain.
Demikian
juga dalam kasus 3 (Perusahaan Asbes) dan kasus 4 (Kerahasiaan Bank) mencoba
meningkatkan untung dengan mengarahkan perhatian ke luar negeri. Dengan
memindahkan pabriknya ke Afrika "Kansas Asbestos Company" berhasil
menekan biaya produksi menjadi lebih kecil daripada di negerinya sendiri dan
keuntungan dapat dipertahankan atau bahkan meningkat. Begitu pula bank di
negara kecil bisa memperluas asetnya dengan menawarkan jasa yang menarik bagi
nasabah di luar negeri. Karena negaranya kecil, bank-bank di Swiss dan
Luxemburg tidak bisa mengharapkan banyak dana dari pasar modal dalam negeri.
Supaya bisa tumbuh besar, mereka menawarkan jasa dengan syarat atraktif untuk
pemilik modal luar negeri.
SUDUT PANDANG MORAL
Dalam
kasus industri kimia memang sangat hakiki perusahaan mempertahankan
produktivitasnya. Namun demikian, apakah produktivitas boleh dipertahankan
dengan segala cara. Perusahaan kimia itu memproduksi bahan yang berbahaya.
Dalam sejarah industri modern sudah terlalu banyak terjadi kecelakaan yang
sebenarnya bisa dihindarkan. Para manajer pabrik memikul tanggung jawab besar,
bila terjadi kecelakaan yang menewaskan pekerja, merugikan kesehatan pekerja
dan masyakaratan di sekitar pabrik atau merusak lingkungan sekitar. Mngejar
keuntungan merupakan hal yang wajar, asalkan tidak tercapai dengan merugikan
pihak lain. Tidak semuanya yang bisa kita lakukan untuk mengejar tujuan kita
boleh kita lakukan juga. Kita harus menghormati kepentingan dan hak orang lain.
Dalam kasus
pemasok komputer kepala bagian penjualan tentu tergiur oleh order yang sangat
menguntungkan. Sampai ia membuat janji yang mungkin tidak dapat ditepatinya
demi mengejar keuntungan yang besar. Lebih baik ia berterus terang dalam
menjelaskan kesulitan yang dihadapinya dalam memenuhi order. Jika ia tidak bisa
memenuhi janjinya, ia merugikan si pemesan, karena PT. W.V.K akan mengalami
kesulitan besar, bila penggantian komputer tidak bisa diselesaikan menurut
jadwal yang direncanakan.
Dalam
kasus perusahaan asbes, perusahaan mendapat untung dengan memindahakan
pabriknya ke negara Afrika Barat. Mungkin pemerintah negara itu malah
mendukung, karena mereka sangat membutuhkan perluasan kesempatan kerja. Mungkin
mereka juga mengetahui bahanya, tetapi kadang keperluan mendesak selalu
dirasakan dengan lebih tajam daripada bahaya yang masih jauh. Biarpun diterima
di negara tersebut namun tidak etis karena kegiatan tersebut dilarang di negara
asalnya karena membahayakan kesehatan pekerja.
Kasus
kerahasian bank, dengan membuat peraturan ketat tentang kerahasiaan, bank-bank
di negara-negara kecil bisa menarik dana dari luar negeri demi memperoleh
keuntungan. Mereka tidak menghiraukan asal-usul atau halal tidaknya dana itu.
Akibatnya banyak dana sari sumber kriminal mencari tempat yang aman di
bank-bank tersebut. Mereka tidak melakukan hal-hal yang kurangbermoral, seperti
mencuri, merampok, menipu dan sebgainya. Tetapi secara tidak langsung mereka
melindungi kejahatan. Uang dari sumber kriminal yang tidak aman di negerinya
sendiri, mendapat tempat yang aman di bank-bank ini. Menurut penilaian moral
yang umum, bukan saja mencuri yang termasuk perbuatan tidak etis, menadah pun
juga demikian.Good business bukan saja bisnis yang menguntungkan tetapi
juga bisnis yang baik secara moral.
SUDUT PANDANG HUKUM
Walaupun
terdapat hubungan erat antara norma hukum dan norma etika, namun dua macam
norma itu tidak sama. Di samping sudut pandang hukum, kita tetap membutuhkan
sudut pandang moral. Untuk itu dapat dikemukakan beberapa alasan. Pertama,
banyak hal bersifat tidak etis, sedangkan menurut hukum tidak dilarang. Tidak
semua yang bersifat imoral adalah ilegal.
Dalam
kasus perusahaan kimia harus kita bedakan aspek moral dan aspek hukum.
Dikatakan pendahulu Jones "tidak teliti dalam menerapkan aturan-aturan
keamanan". Tidak begitu jelas apakah yang dimaksud aturan hukum atau
intern perusahaan. Manajer tidak boleh mengambil keputusan yang membahayakan
karyawan atau lingkungan hidup. Melakukan hal itu dianggap tidak etis. Tetapi sebaiknya
hal itu diatur menurut hukum juga. Demi kepentingan umum, industri penuh risiko
seperti industri kimia harus menjadi jelas standar yang berlaku dan
pelaksanaannya dikontrol dengan ketat. Dalam kasus pabrik asbes, perusahaan
"Kansas Asbestos Company" tidak melanggar hukum dengan memindahkan
semua pabriknya ke Afrika Barat, sebab hukum Amerika tidak berlaku disitu. Dari
segi moral perilaku mereka mencerminkan ketidaketisan karena mereka membiarkan
terjadinya risiko kesehatan pekerja Afrika. Sedangkan kasus 4 (Kerahasiaan
Bank) rahasia bank yang ketat di negara-negara kecil justru diatur menurut
hukum, namun peraturan hukum tersebut tidak etis karena bisa memberikan
perlindungan kepada dana yang berasal dari kegiatan kriminal.
Alasan
kedua, proses terbentuknya undang-undang atau peraturan-peraturan hukum lainnya
memakan waktu lama, sehingga masalah-masalah baru tidak segera bisa diatur
secara hukum. Sebelum diberlakukan undang-undang lingkungan hidup, industri
sudah sering mengakibatkan polusi udara, air, atau tanah yang merugikan
masyarakat. Tetapi hal seperi itu telah berlangsung di semua negara, karena
ketentuan hukum mengenai lingkungan hidup baru mulai dikembangkan sekitar tahun
1970-an. Di negara-negara berkembang yang mulai mengembangkan industrinya,
dalam banyak hal peraturan hukum masih terbelakang sekali dibandingkan dengan
negara-negara maju. Kasus pabrik asbes dalam konteks ini dapat menjadi contoh.
Kasus live aid waktu itu, perbuatan tersebut menurut hukum yang berlaku di
Indonesia masih dimungkinkan, tetapi dari segi etika tentu tidak bisa
dibenarkan. Karena dua alasan: pertama, pembajakan kaset ini melanggar hak
milik orang lain; kedua, pembajakan menjadi lebih jelek lagi karena kaset itu
berkaitan dengan maksud amal. Satu kasus lain yang pantas dipelajari dalam
konteks ini menyangkut pembajakan merek sepatu Nike. MA Indonesia pada tanggal
16 Desember 1986 dengan sebuah peninjauan kembali mengalahkan perusahaan
Indonesia dan memenangkan Nike International Ltd. Alasan hukum yang eksplisit,
diambil dari hukum yang berlaku pada waktu itu. Tetapi rupanya secara implisit
alasan lebih penting adalah berpegang pada keyakinan etika perdagangan
internasional pada waktu itu, dengan mempertimbangkan efek negatif dalam
perdagangan internasional bagi Indonesia bila masalah ini tidak diselesaikan
dengan memuaskan.
Alasan
ketiga ialah hukum sering kali bisa disalahgunakan. Perumusan hukum tidak
sempurna, sehingga orang yang beritikad buruk bisa memanfaatkan celah-celah
dalam hukum (the loopholes of the law). Peraturan hukum yang dirumuskan
dengan cara teliti sekalipun barangkali masih memungkinkan praktek-praktek
kurang etis yang tidak bertentangan dengan hukum. Suatu contoh kasus mengincar
pesangon. Ir. A.M. Situmorang mendapat pesangon bila ia diberhentikan, sedangkan
tidak dapat bila ia sendiri minta berhenti. Dengan sengaja melakukan
indisipliner ia berusaha memaksakan pemberhentian ya. Cara seperti itu jelas
tidak etis, karena merugikan perusahaannya.
Alasan
keempat, hukum memang dirumuskan dengan baik, tetapi karena salah satu alasan
sulit untuk dilaksanakan. Misalnya, karena sulit dijalankan kontrol yang
efektif.
Alasan
kelima, perlunya sudut pandang moral di samping sudut pandang hukum adalah
hukum kerap kali mempergunakan pengertian yang dalam konteks hukum itu sendiri
tidak didefinisikan dengan jelas dan sebenarnya diambil dari konteks moral.
Salah satu contoh adalah pengertian "bonafide". Bukannya hukum,
melainkan praktek dan refleksi morallah yang menentukan isi pengertian ini.
Bisa juga terjadi pengadilan memutuskan perkara atas dasar pertimbangan moral.
"Bisnis
yang baik" juga berarti bisnis yang patuh pada hukum. Tetapi sudut pandang
hukum itu tidak cukup. Prlu diakui adanya sudut pandang lain, yaitu sudut
pandang moral. Sebagaimana ditandaskan Boatright, daripada menggunakan motto
"If it's legal, it's morally okay", lebih baik kita berpegang
pada prinsip "If it's morally wrong, it's probably also illegal". Jika
secara moral suatu perilaku ternyata salah, kemungkinan besar perilaku itu
melanggar hukum.
TOLAK UKUR UNTUK KETIGA SUDUT PANDANG
Bisnis
itu baik menurut tiga sudut pandang tersebut ialah, secara ekonomis, bisnis
adalah baik bila menghasilkan laba. Untuk sudut pandang hukum, bisnis adalah
baik jika diperbolehkan oleh sistem hukum. Sedangkan sudut moral setidaknya ada
tiga tolok ukur, yaitu hati nurani, kaidah emas, penilaian masyarakat umum.
HATI NURANI
Suatu
perbuatan dikatakan baik jika dilakukan sesuai hati nurani. Jika bertindak
bertentangan dengan hati nurani akan menghancurkan integritas pribadi, karena
menyimpang dari keyakinan. Kasus industri kimia, Marc Jones hanya ingin
bertindak sesuai hati nuraninya, sedangkan atasannya tidak memperdulikan hati
nuraninya dan lebih mementingkan keuntungan semata. Kasus pemasok komputer,
kepala pemasaran hanya terdiam saat dia ragu atas janji yang barangkali tidak
dapat ia tepati. Kasus pembajakan konser live aid dan produk sepatu nike oleh
perusahaan Indonesia juga dapat menjadi contoh bahwa tidak digunakannya hati
nurani mereka dalam berbisnis.
KAIDAH EMAS
Perilaku moral dapat dinilai baik
atau buruknya dengan lebih obyektif melalui ukuran yang disebut Kaidah Emas,
yaitu “Hendaklah engkau memperlakukan orang lain sebagaimana engkau ingin
diperlakukan”. Kaidah Emas dapat dirumuskan melalui cara positif maupun cara
negatif. Cara positif adalah cara yang sudah disebutkan tadi, sementara cara
negatif yaitu “Janganlah kamu melakukan suatu perbuatan terhadap orang lain, jika kamu tidak menginginkan
perbuatan tersebut terjadi padamu”.
Seandainya Kevin Lombard di dalam
kasus 1 (Industri Kimia) menjadi pekerja biasa di pabrik kimia tersebut, apakah
dia akan tetap setuju bila atasannya membiarkan keselamatannya dalam risiko
yang besar? Begitu juga dengan kepala bagian dalam kasus 2 (Pemasok komputer),
mungkin dia bisa menanyakan: Seandainya saya membeli sebuah komputer seperti
yang dipesan PT. W.V.K., apakah saya akan merasa senang jika barangkali
komputer tersebut tidak dapat dijalankan dengan baik?
Pemimpin perusahaan asbes Amerika
Serikat (kasus 3) pasti tidak menginginkan dirinya diperlakukan sebagaimana ia
memperlakukan para pekerja di Afrika Barat. Ia melakukan suatu perbuatan yang
menurut peraturan hukum Amerika jelas tidak boleh dilakukan. Beberapa pihak
terkait seakan-akan menutup mata dengan fenomena di Afrika Barat tersebut, akan
tetapi perusahaan Amerika yakin bahwa perbuatan yang dilakukan adalah perbuatan
yang melangar hukum.
Kaidah Emas juga diterapkan di kasus
4. Beberapa negara kecil, Swiss dan Luxemburg contohnya, mengunggulkan
pelayanan bank dengan tingkat kerahasiaan yang sangat tinggi. Hal tersebut
dilakukan untuk menarik banyak dana. Dalam konteks ini, darimana uang tersebut
didapatkan tidak begitu menjadi perhatian penting. Akan tetapi mereka juga
menunjukkan sikap penolakan yang tegas apabila mengetahui asal-usul uang
tersebut. Mereka tidak ingin bila kriminalitas di negara mereka sendiri
dilindungi oleh negara lain.
Di dalam kasus 5 (“Live Aid”) dan
kasus 6 (Merk dagang Nike), Kaidah Emas diterapkan lebih menarik. Hati nurani
adalah hal yang membuat kedua kasus ini dianggap menarik karena
pertanyaan-pertanyaan yang mungkin timbul, seperti apakah pencipta kaset “Live
Aid” dapat begitu saja menerima jika ada orang yang membjak lagunya, atau
apakah pemilik merk dagang Nike dapat menerima dengan lapang dada jika ada yang
menggunakan merk tersebut tanpa izin yang jelas. Kaidah Emas menggambarkan
dengan jelas bahwa perilaku orang di dalam kedua kasus tersebut tidak etis.
Baca Juga : Bisnis Dan Etika Dalam Dunia Modern (II/II)
bagaiamana pendapat anda mengenai kasus 7
BalasHapus