Permasalahan
Etika Bisnis Dalam Bisnis Internasional
Apabila moral merupakan
sesuatu yang mendorong orang untuk melakukan kebaikan etika bertindak sebagai
rambu-rambu yang merupakan kesepakatan secara rela dari semua anggota suatu
kelompok. Dunia bisnis yang bermoral akan mampu mengembangkan etika
(patokan/rambu-rambu) yang menjamin kegiatan bisnis yang seimbang, selaras, dan
serasi. Etika sebagai rambu-rambu dalam suatu kelompok masyarakat akan dapat
membimbing dan mengingatkan anggotanya kepada suatu tindakan yang terpuji (good
conduct) yang harus selalu dipatuhi dan dilaksanakan. Etika di dalam bisnis
dunia internasional sudah tentu harus disepakati oleh orang-orang yang berada
dalam kelompok bisnis serta kelompok yang terkait lainnya. Internasionalisasi
bisnis yang semakin mencolok sekarang ini menampilkan juga aspek etis yang
baru. Tidak mengherankan jika terutama tahun-tahun terakhir ini diberi
perhatian khusus kepada aspek-aspek etis dalam bisnis internasional. Pertanyaan terkait moral mengenai apakah suatu
tindakan baik atau buruk, benar atau salah, seringkali menjadi dilema di dalam
kegiatan bisnis internasional. Penilaian terhadap suatu tindakan terkait
bisnis yang dianggap baik atau buruk dan benar atau salah seringkali
berbeda di antara satu negara dengan negara lainnya. Bahkan di dalam suatu
negarapun penilaian ini sering berbeda dikarenakan perbedaan di dalam budaya
dari masyarakatnya. Di samping faktor budaya, perbedaan pandangan ini juga
sering dipengaruhi oleh sistem perekonomian dan sistem pemerintahan suatu
negara, disamping kepercayaan dan agama yang ada di masyarakat.
Hakikat Bisnis Internasional
Bisnis
internasional merupakan kegiatan bisnis yang dilakukan melewati batas negara.
Transaksi bisnis seperti ini merupakan transaksi bisnis internasional
(International Trade). Sedangkan Transaksi bisnis yang dilakukan oleh suatu
perusahaan dalam suatu negara dengan perusahaan lain atau individu di negara
lain disebut Pemasaran Internasional atau International Marketing. Pemasaran
internasional berbeda dengan Bisnis Internasional.
1.
Bisnis internasional
Dalam
perdagangan internasional yang merupakan transaksi antar Negara itu biasanya
dilakukan dengan cara tradisional yaitu dengan cara ekspor dan impor.
2.
Pemasaran internasional
Transaksi
bisnis internasional ini pada umumnya merupakan upaya untuk memasarkan hasil
produksi di luar negeri. Dalam hal ini maka pengusaha akan terbebas dari
hambatan perdagangan dan tarif bea masuk karena tidak ada transaksi ekspor
impor. Transaksi ini dapat ditempuh dengan cara:
– Licencing
– Franchising
– Management
Contracting
– Marketing
in Home Country by Host Country
– Joint
Venturing
–
Multinational Coporation (MNC)
Semua bentuk
transaksi internasional memerlukan transaksi pembayaran yang sering disebut
fee. Negara (Home Country) harus membayar, sedangkan pengirim (Host Country)
memperoleh fee tersebut
Prinsip
Etika Bisnis dalam Bisnis Internasional
Dewasa ini, perusahaan-perusahaan bisnis
internasional, terutama yang besar, pada umumnya sudah memiliki pedoman etika
bisnis di dalam perusahaannya. Kode etik internasional pertama di bidang bisnis
adalah ”The Caux Round-Table Principles for Business” yang disepakati pada
tahun 1994 oleh eksekutif puncak dari berbagai perusahaan multinasional
dari Jepang, Eropa dan Amerika Serikat (seperti Matsuhita, Philips, Ciba-Geigy,
Cummins, 3M dan Honeywell). Prinsip Caux berakar pada dua nilai ideal dasar
dalam etika, yaitu konsep Jepang “kyosei” yang berarti hidup dan bekerja
bersama-sama demi kesejahteraan umum, dan konsep barat “human dignity”
(martabat manusia) yang mengacu pada kesucian atau bernilainya setiap pribadi sebagai
tujuan, tidak semata-mata sebagai sarana untuk mewujudkan tujuan-tujuan orang
lain atau bahkan untuk melaksanakan kehendak mayoritas.
Kode etik ini terbagi dalam tiga bagian utama, yaitu
mukadimah, prinsip-prinsip umum, dan prinsip-prinsip stakeholder.
Prinsip-prinsip umum dari ”The Caux Round-Table Principles for Business”
adalah sebagai berikut.
Prinsip 1. Tanggung Jawab Bisnis Dari “Shareholders”
ke “Stakeholders”
Nilai organisasi bisnis bagi masyarakat ialah kekayaan
dan lapangan kerja yang diciptakannya serta produk dan jasa yang dipasarkan
kepada konsumen dengan harga wajar yang sebanding dengan mutu. Untuk mampu
menciptakan nilai itu, sebuah organisasi bisnis haruslah mempertahankan
kesehatan dan kelangsungan hidupnya, namun kelangsungan hidup bukanlah tujuan
yang mencukupi. Bisnis memainkan peranan untuk
meningkatkan kehidupan semua pelanggan, karyawan dan pemegang saham dengan
membagikan kekayaan yang diciptakannya. Para pemasok dan pesaingpun berharap
bahwa organisasi-organisasi bisnis menghormati kewajiban-kewajiban mereka
dengan semangat kejujuran dan keadilan. Sebagai warga yang bertanggung jawab
dari komunitas lokal, nasional, regional dan global dimana mereka beroperasi,
organisasi-organisasi bisnis ikut serta dalam menentukan masa depan
komunitas-komunitas itu.
Prinsip 2. Dampak Ekonomis dan Sosial dari Bisnis :
Menuju Inovasi, Keadilan dan Komunitas Dunia
Organisasi-organisasi bisnis yang didirikan di luar
negeri untuk membangun, memproduksi atau menjual juga harus memberi sumbangan pada
pembangunan sosial negara-negara itu dengan menciptakan lapangan kerja yang
produktif dan membantu meningkatkan daya beli warga negara setempat.
Organisasi-organisasi bisnis harus juga menyumbang pada hak-hak azasi manusia,
pendidikan, kesejahteraan dan vitalisasi negara-negara tempat mereka
beroperasi. Organisasi-organisasi bisnis harus
menyumbang pada pembangunan ekonomi dan sosial tidak hanya di negara-negara
tempat mereka beroperasi, tetapi juga bagi komunitas dunia pada umumnya,
melalui penggunaan sumber-sumber secara efektif dan bijaksana, kompetisi yang
bebas dan adil, serta penekanan pada inovasi di bidang teknologi, metode-metode
produksi, pemasaran dan komunikasi.
Prinsip 3. Perilaku Bisnis : Dari Hukum Tersurat ke
Semangat Saling Percaya
Dengan tetap mengakui keabsahan rahasia-rahasia
dagang, organisasi-organisasi bisnis haruslah menyadari bahwa kelurusan hati,
ketulusan, kejujuran, sikap memegang teguh janji, dan transparansi, bermanfaat
tidak hanya bagi kredibilitas dan stabilitas bisnis sendiri, tetapi juga bagi
kelancaran dan efisiensi transaksi-transaksi bisnis, khususnya pada tingkat
internasional.
Prinsip 4. Sikap Menghormati Aturan
Untuk menghindari konflik-konflik dagang dan untuk
menggalakkan perdagangan yang lebih bebas, kondisi-kondisi adil dalam
persaingan, perlakuan yang seimbang dan adil bagi seluruh partisipan,
organisasi-organisasi bisnis wajib menghormati aturan-aturan internasional dan
domestik. Disamping itu, bisnispun harus menyadari bahwa perilaku-perilaku
tertentu, biarpun tidak melanggar aturan, tetap saja dapat menimbulkan
akibat-akibat yang tidak diinginkan.
Prinsip 5. Dukungan Bagi Perdagangan Multilateral
Organisasi-organisasi bisnis wajib mendukung sistem
perdagangan multilateral dari GATT/WTO serta kesepakatan-kesepakatan
internasional serupa. Mereka wajib bekerja sama dalam upaya-upaya untuk
memajukan liberalisasi perdagangan yang progresif dan sesuai dengan akal sehat
dan untuk mengendurkan ketentuan-ketentuian domestik yang secara tidak masuk
akal menghambat perniagaan global, dengan tetap menghormati tujuan-tujuan
kebijaksanaan nasional.
Prinsip 6. Sikap Hormat Bagi Lingkungan Alam
Bisnis wajib melindungi dan, dimana mungkin,
meningkatkan lingkungan alam, mendukung pembangunan yang berkelanjutan, dan
mencegah terjadinya pemborosan sumber-sumber daya alam.
Prinsip 7. Menghindari Operasi-Operasi Yang Tidak Etis
Bisnis wajib untuk tidak berpartisipasi dalam atau
menutup mata terhadap penyuapan, pencucian uang (money laundering), atau
praktek-praktek korup lainnya, bahkan bisnis wajib untuk menjalin kerjasama
dengan pihak-pihak lain untuk membasmi praktek-praktek itu. Bisnis wajib untuk
tidak memperdagangkan senjata atau barang-barang lain yang diperuntukkan bagi
kegiatan-kegiatan teroris, perdagangan obat bius, atau kejahatan terorganisasi
lainnya.
Etika dalam konteks lintas budaya
dan internasional
Cara untuk mengkarakteristik perilaku etis dalam konteks lintas
budaya dan internasional adalah dengan menilai bagaimana suatu organisasi
memperlakukan karyawan-karyawannya, bagaimana karyawan – karyawan
memerperlakukan organisasi, dan
bagaimana keduanya (organisasi dan karyawan) memperlakukan agen ekonomi.
1.
Bagaimana
organisasi memperlakukan karyawan
Di satu sisi organisasi dapat berusaha untuk mempekerjakan orang-orang terbaik, untuk memberikan
kesempatan yang luas
untuk keterampilan dan pengembangan karir,
untuk memberikan
kompensasi dan
tunjangan yang
sesuai, dan
umumnya menghormati hak-hak
pribadi dan
martabat setiap karyawan.
Sedangkan disisi lain perusahaan
dapat mempekerjakan berdasar kriteria yang merugikan dan kesukaan, dapat
sengaja membatasi kesempatan berkembang, dapat memberikan kompensasi yang
minim, dan dapat memperlakukan karyawan dengan keras dan sedikit memperhatikan
kebebasan pribadi. Dalam prakteknya, bidang-bidang yang rentan perbedaan
terhadap etika meliputi mengangkat dan memberhentikan karyawan, upah dan
kondisi kerja, privasi dan menghargai karyawan. Di beberapa negara petunjuk
etika dan hukum menyarankan bahwa pengangkatan dan keputusan harus didasarkan
semata-mata pada kemampuan individu untuk melakukan pekerjaan. Tetapi di negara
lain adalah sah untuk memberikan perlakuan yang istimewa kepada
individu-individu berdasar jenis kelamin, etnik, usia, atau faktor lain yang
tidak berhubungan dengan pekerjaan
2.
Bagaimana
karyawan memperlakukan organisasi
Banyak isu yang berkaitan dengan bagaimana karyawan memperlakukan
organisasi . Isu sentris sentral dalam hubungan ini meliputi konflik
kepentingan, kerahasiaan dan kejujuran.
Konflik kepentingan terjadi jika sebuah keputusan mempunyai
potensi yang menguntungkan dan mungkin merugikan organisasi. Persepsi etis
mengenai pentingnya konflik kepentingan berbeda bagi masing-masing budaya.
Membuka rahasia perusahaan dipandang etis di beberapa negara,
tetapi tidak di Negara lainnya. Karyawan yang bekerja untuk bisnis dalam
industri yang memiliki persaingan ketat, dapat tergoda untuk menjual informasi
tentang rencana penjualan ke kompetitor.
Bidang ketiga yang perlu diperhatikan adalah kejujuran secara
umum. Problem yang umum di bidang ini meliputi hal-hal seperti menggunakan
telepon kantor untuk telepon jarak jauh demi kepentingan pribadi, mengambil
barang-barang kantor, dan menggelembungkan biaya-biaya. Dalam beberapa budaya
bisnis, tindakan-tindakan seperti ini dipandang tidak etis.
3.
Bagaimana
organisasi dan karyawan memperlakukan agen ekonomi
Agen ekonomi meliputi konsumen, kompetitor, pemegang saham,
pemasok, dealer, dan serikat pekerja. Jenis interaksi antara organisasi dengan
agen-agen ini rentan terhadap ambigu etis yang meliputi iklan dan promosi,
pembukaan rahasia keuangan, pemesanan dan pembelian, pengiriman dan pemindahan,
tawar menawar dan negosiasi, dan hubungan bisnis yang lain.
Perbedaan praktek bisnis antar negara menimbulkan kerumitan secara
etis bagi perusahaan dan karyawan mereka. Di beberapa negara uang suap dalam
jumlah kecil dan biaya lain-lain adalah normal dan menjadi sebuah kebiasaan
dalam bisnis : perusahaan asing sering mengikuti kebiasaan lokal tanpa melihat
apakahini dianggap sebagai prektek yang etis di negara asal.
Kebijakan
Perdagangan Internasional
1.
Penetapan
Tarif atau Bea Masuk
Tarif
atau bea masuk dikenakan pada barang impor. Tarif atau bea masuk ini juga biasa
disebut dengan pajak atas barang-barang impor. Setiap barang yang masuk ke dalam
pasar dalam negeri dikenai bea masuk. Tujuan penetapan tarif atau bea
masuk ini adalah sebagai berikut.:
a.
Menghambat Impor Barang-barang/Jasa Luar Negeri dengan Penetapan Pajak yang
Tinggi Atas Barang-barang Impor, Terutama atas barang-barang impor yang tidak
mempunyai nilai guna dan nilai tambah bagi perekonomian nasional. Misalnya,
impor barangbarang mewah. Bila nilai impor lebih besar daripada nilai ekspor
maka akan mengganggu perekonomian nasional. Persediaan devisa negara akan
terkuras untuk membiayai impor bila tanpa diimbangi dengan adanya ekspor.
Negara memerlukan devisa yang cukup untuk membiayai pembangunan.
b.
Melindungi Barang/Jasa Produksi Dalam Negeri
Untuk
melindungi produk dalam negeri yang lebih mahal daripada harga barang impor
maka pemerintah menetapkan tarif yang tinggi. Dengan demikian, harga jual
barang impor di dalam negeri menjadi lebih tinggi daripada harga barang
produksi dalam negeri sehingga produk dalam negeri tetap dapat bersaing. Pajak
atau bea masuk akan menambah harga jual suatu barang/jasa impor.
c.
Menambah Pendapatan Pemerintah dari Pajak
Penarikan
tarif pajak barang/jasa impor merupakan pemasukan bagi anggaran pendapatan dan
belanja negara khususnya dalam subpenerimaan pajak
2.
Kuota
Kuota
merupakan salah satu cara melakukan proteksi yang sifatnya nontarif. Kuota
adalah suatu kebijaksanaan untuk membatasi jumlah maksimum yang dapat diimpor.
Hal ini dilakukan apabila pemerintah tidak melakukan pelarangan impor suatu
barang tetapi tidak juga ingin menarik bea masuk atau tarif karena khawatir
akan menaikkan harga dalam negeri. Menurut GATT/WTO, sistem kuota ini hanya
dapat digunakan dalam hal sebagai berikut:
a.
untuk melindungi hasil pertanian
b.
untuk menjaga keseimbangan balance of payment
c. untuk melindungi kepentingan ekonomi nasional.
3.
Subsidi
Agar
produksi di dalam negeri dapat ditingkatkan maka pemerintah memberikan subsidi
kepada produsen.Subsidi yang diberikan dapat berupa mesin-mesin, peralatan,
tenaga ahli, keringanan pajak, fasilitas kredit, dan sebagainya.
4.
Politik
Dumping
Dumping
adalah suatu kebijakan diskriminasi harga secara internasional (international
price discrimination) yang dilakukan dengan menjual suatu komoditi di luar
negeri dengan harga yang lebih murah dibandingkan yang dibayar konsumen di
dalam negeri.
Ada
tiga tipe dumping, yaitu sebagai berikut.
a. Persistant dumping, yaitu
kecenderungan monopoli yang berkelanjutan (continous) dari suatu perusahaan di
pasar domestik untuk memperoleh laba maksimum dengan menetapkan harga yang
lebih tinggi di dalam negeri daripada di luar negeri.
b. Predatory dumping, yaitu
tindakan perusahaan untuk menjual barangnya di luar negeri dengan harga yang
lebih murah untuk sementara (temporary), sehingga dapat mematikan atau
mengalahkan perusahaan lain dari persaingan bisnis. Setelah dapat memonopoli
pasar, barulah harga kembali dinaikkan untuk mendapatkan laba maksimum.
c. Sporadic dumping, yaitu
tindakan perusahaan dalam menjual produknya di luar negeri dengan harga yang
lebih murah secara sporadic dibandingkan harga di dalam negeri karena adanya
kelebihan produksi di dalam negeri.
Pelaksanaan
politik dumping dalam praktik perdagangan internasional dianggap sebagai
tindakan yang tidak terpuji (unfair trade) karena dapat merugikan negara lain.
Untuk itu, WTO sebagai organisasi perdagangan dunia menganut prinsip
nondiskriminasi (Nation Treatment Clause/NTC). Nation Treatment Clause/NTC
merupakan prinsip memberi perlakuan yang sama terhadap produk luar negeri
maupun produk dalam negeri. Sesuai ketentuan WTO, bagi negara yang dirugikan
dapat mengambil tindakan anti dumping duties (tindakan anti dumping)
Isu tentang etika di dalam bisnis
internasional
Banyak
dari isu-isu etis dan dilema dalam bisnis internasional berakar pada kenyataan
bahwa sistem politik, hukum, pembangunan ekonomi, dan budaya bervariasi secara
signifikan dari bangsa untuk bangsa. Dalam pengaturan bisnis internasional,
yang paling umum melibatkan isu-isu etis yang meliputi
–
Praktek tenaga kerja
–
HAM
–
Lingkungan peraturan
–
Korupsi
–
Kewajiban moral perusahaan multinasional
Norma-norma Moral yang umum pada taraf Internasional
Salah satu masalah besar
yang sudah lama disoroti serta didiskusikan dalam etika filosofis adalah
relatif tidaknya norma-norma moral. Kami berpendapat bahwa pandangan yang
menganggap norma-norma moral relatif saja tidak bisa dipertahankan. Namun
demikian, itu tidak berarti bahwa norma-norma moral bersifat absolut atau tidak
mutlak begitu saja. Jadi, pertanyaan yang tidak mudah itu harus bernuansa.
Masalah teoritis yang serba kompleks ini kembali lagi pada taraf praktis dalam
etika bisnis internaasional. Apa yang harus kita lakukan ,jika norma di Negara
lain berbeda dengan norma yang dianut sendiri? Richard De George membicarakan
tiga jawaban atas pertanyaan tersebut, ada 3 pandangan mengenai pertanyaan di
atas sebagai berikut :
a. Menyesuaikan
Diri
Untuk menunjukkan sikap yang
tampak pada pandangan ini menggunakan peribahasa “Kalau di Roma, bertindaklah
sebagaimana dilakukan orang roma”, Artinya perusahaan harus mengikuti norma dan
aturan moral yang berlaku di negara itu, yang sama dengan peribahasa orang
Indonesia “Dimana bumi dipijak, disana langit dijunjung”. Norma-norma
moral yang penting berlaku di seluruh dunia. Sedangkan norma-norma non-moral
untuk perilaku manusia bisa berbeda di berbagai tempat. Itulah kebenaran yang
terkandung dalam pandangan ini. Misalnya, norma-norma sopan santun dan bahkan
norma-norma hukum di semua tempat tidak sama. Yang di satu tempat dituntut
karena kesopanan, bisa saja di tempat lain dianggap sangat tidak sopan.
b. Regorisme
Moral
Pandangan kedua memilih arah
terbalik. Pandangan ini dapat disebut “rigorisme moral”, karena mau
mempertahankan kemurnian etika yang sama seperti di negerinya sendiri. Mereka
mengatakan bahwa perusahaan di luar negeri hanya boleh melakukan apa yang boleh
dilakukan di negaranya sendiri dan justru tidak boleh menyesuaikan diri dengan
norma etis yang berbeda di tempat lain. Mereka berpendapat bahwa apa yang
dianggap baik di negerinya sendiri, tidak mungkin menjadi kurang baik di tempat
lain.
Kebenaran yang dapat
ditemukan dalam pandangan regorisme moral ini adalah bahwa kita harus konsisten
dalam perilaku moral kita. Norma-norma etis memang bersifat umum. Yang buruk di
satu tempat tidak mungkin menjadi baik dan terpuji di tempat di tempat lain.
Namun para penganut rigorisme moral kurang memperhatikan bahwa situasi yang
berbeda turut mempengaruhi keputusan etis.
c. Imoralisme
Naif
Menurut pandangan ini dalam
bisnis internasional tidak perlu kita berpegang pada norma-norma etika. Kita
harus memenuhi ketentuan-ketentuan hukum (dan itupun hanya sejauh ketentuan itu
ditegakkan di negara bersangkutan), tetapi selain itu, kita tidak terikat
norma-norma moral. Malah jika perusahaan terlalu memperhatikan etika, ia berada
dalam posisi yang merugikan, karena daya saingnya akan terganggu.
Aspek etis dari Korporasi Multinasional
Fenomena yang agak baru di
atas panggung bisnis dunia adalah korporasi multinasional. Yang dimaksud dengan
korporasi multinasional adalah perusahaan yang mempunyai investasi langsung
dalam dua negara atau lebih. Jadi perusahaan yang mempunyai hubungan dagang
dengan luar negeri, dengan demikian belum mencapai status korporasi
multinasional (KMN), tetapi perusahaan yang memiliki pabrik di beberapa negara
termasuk di dalamnya. Kita semua mengenal KMN seperti Coca-Cola, Johnson &
Johnson, AT & T, General Motors, IBM, Mitsubishi, Toyota, Sony, Philips,
Unilever yang mempunyai kegiatan di seluruh dunia dan menguasai nasib jutaan
orang.
Karena memiliki kekuatan ekonomis yang
sering kali sangat besar dan karena beroperasi di berbagai tempat yang berbeda
dan sebab itu mempunyai mobilitas tinggi, KMN menimbulkan masalah-masalah
etis sendiri. Di sini kita membatasi diri pada masalah-masalah yang berkaitan
dengan negara-negara berkembang. Tentu saja, negara-negara berkembang sudah
mengambil berbagi tindakan untuk melindungi diri. Misalnya, mereka tidak
mengijinkan masuk KMN yang bisa merusak atau melemahkan suatu industri dalam
negeri. Beberapa negara berkembang hanya mengijinkan KMN membuka suatu usaha di
wilayahnya, jika mayoritas saham (sekurang-kurangnya 50,1%) berada dalam tangan
warga negara setempat.
Karena kekosongan hukum pada taraf
internasional, kesadaran etis bagi KMN lebih mendesak lagi. De George merumuskan
sepuluh aturan etis yang dianggap paling mendesak dalam konteks ini. Tujuh
norma pertama berlaku untuk semua KMN, sedangkan tiga aturan terakhir terutama
dirumuskan untuk industri berisiko khusus seperti pabrik kimia atau instalasi
nuklir. Sepuluh aturan itu adalah:
a. Koorporasi multinasional tidak
boleh dengan sengaja mengakibatkan kerugian langsung. Dengan sengaja
mengakibatkan kerugian bagi orang lain selalu merupakan tindakan yang tidak
etis. Norma pertama ini mengatakan bahwa suatu tindakan tidak etis, bila KMN
dengan tahu dan mau mengakibatkan kerugian bagi negara biarpun tidak dengan
sengaja atau langsung- menurut keadilan kompensatoris ia wajib memberi ganti
rugi.
b. Koorporasi
multinasional harus menghasilkan lebih banyak manfaat daripada kerugian bagi
negara dimana mereka beroperasi. Hampir semua kegiatan manusia mempunyai akibat
jelek,bisnis tidak tekecuali. Norma kedua menuntut secara menyeluruh akibat-
akibat baik melebihi akibat- akibat jelek. Norma ini tidak membatasi diri pada
segi negatif, tapi memerintahkan sesuatu yang positif da ditegasakan lagi bahwa
yang positif harus melebihi yang negatif.
c. Dengan kegiatannya
korporasi multinasional itu harus memberi kontribusi kepada pembangunan negara
dimana dia beroperasi. KMN harus menyumbangkan juga pada pembangunan negara
berkmbang. KMN harus bersedia melakukan alih teknologi dan alih keahlian.
d. Koorporasi
multinasional harus menghormati HAM dari semua karyawannya. KMN harus
memperhatikan tentang upah dan kondisi kerja di negara berkembang.
e. Sejauh kebudayaan
setempat tidak melanggar norma-norma etis, korporasi multinasional harus
menghormati kebudayaan lokal itu dan bekerja sama dengannya, bukan
menantangnya. KMN akan merugikan negara dimana ia beroperasi, jika ia tidak
menghormati kebudayaan setempat.KMN harus menyesuaikan diri dengan nilai- nilai
budaya stempat dan tidak memaksakan nilai-nilainya sendiri.
f. Koorporasi
multinasional harus membayar pajak yang “fair”. Setiap perusahaan multinasional
harus membayar pajak menurut tarif yang telah ditentukan dalam suatu negara.
KMN akan mendukung dibuatnya dan dilaksanakannnya peraturan internasional untuk
menentukan pembayaran pajak oleh perusahaan- perusahaan internasional.
g. Koorporsi
multinasional harus bekerja sama dengan pemerintah setempat dalam mengembangkn
dan menegakkan “backgroud institutions” yang tepat. Yang dimaksud “background
institutions” adalah lembaga- lembaga yang mengatur serta memperkuat kegiatan
ekonomi dan industri suatu negara.
h. Negara yang memiliki mayoritas sham sebuah
perusahaan harus memikul tanggung jawab moral atas kegiatan dan kegagalan
perusahaan tersebut. Norma ini mengatakan bahwa tanggung jawab moral harus
dipikul oleh pemilik mayoritas saham.
i. Jika
suatu korporasi multinasional membangun pabrik yang berisiko tinggi, ia wajib
menjaga supaya pabrik itu aman dan dioperasikan dengan aman. Yang membangun
pabrik- pabrik berisiko tinggi harus juga merundingka prosedur- prosedur
keamanan bagi mereka yang menjalankan pabrik tersebut. KMN bertanggung jawab
untuk membangun pabrik yang aman dan melatih serta membina secara sebaik
mungkin mereka yang akan mengoperasikan pabrik itu.
j. Dalam mengalihkan teknologi berisiko tinggi
kepada negara berkembang, korporasi multinasional wajib merancang kembali
sebuah teknologi demikian rupa, sehingga dapat dipakai dengan aman dalam negara
yang belum berpengalaman. Menurut norma ini prioritas harus diberikan kepada
keamanan. Kalau mungkin, teknologi harus dirancang sesuai dengan kebudayaan dan
kondisi stempat, sehingga terjamin keamanan optimal.
Sepuluh norma tersebut bisa bermanfaat untuk menciptakan
suatu kerangka moral bagi kegiatan- kegiatan KMN
Masalah “Dumping” dalam
Bisnis Internasional
Salah satu topik yang jelas
termasuk etika bisnis internasional adalah dumping produk. Yang dimaksudkan dengan
dumping adalah menjual sebuah produk dalam kuantitas besar di suatu negara lain
dengan harga dibawah harga pasar dan kadang-kadang malah di bawah biaya
produksi. Yang akan merasa keberatan terhadap praktek dumping ini bukannya para
konsumen, melainkan para produsen dari produk yang sama di negara di mana
dumping dilakukan. Dumping produk bisa diadakan dengan banyak motif yang
berbeda. Salah satu motif adalah bahwa si penjual mempunyai persediaan terlalu
besar, sehingga ia memutuskan untuk menjual produk bersangkutan di bawah harga
saja. Motif lebih jelek adalah berusaha untuk merebut monopoli dengan
membanting harga.
Praktek dumping produk itu tidak etis
karena melanggar etika pasar bebas. Sebagaimana doping dalam perlombaan olah
raga harus dianggap kurang etis karena merusak kompetisi yang fair, demikian
juga praktek seperti dumping menghancurkan kemungkinan bagi orang bisnis untuk
bersaing pada taraf yang sama. Kalau dilakukan dengan maksud merebut monopoli,
dumping menjadi kurang etis juga karena merugikan konsumen. Akan tetapi, tidak
etis pula bila suatu negara menuduh negara lain mempraktekkan dumping, padahal
maksudnya hanya melindungi pasar dalam negerinya. Jika negara lain bisa
memproduksi sesuatu dengan harga lebih murah, karena cara produksinya lebih
efisien atau karena bisa menekan biaya produksi, kenyataan ini harus diterima
oleh negara lain. Misalnya jika negara berkembang sanggup memproduksi pakain
jadi dengan lebih murah karena biaya produksinya kurang dikarenakan upah
karyawan yang relatif kecil, hal itu tidak boleh dinilai sebagai dumping. Tidak
etis bila menuduh dumping semata-mata menjadi kedok untuk menyingkirkan saingan
dari pasar.
Melanjutkan perbandingan tadi, sebagaimana
kita memiliki metode-metode yang objektif dan pasti untuk membuktikan adanya
bpraktek doping dalam bidang olah raga, demikian juga kita membutuhkan prosedur
yang jelas untuk memastikan adanya dumping. Kita membutuhkan suatu instansi
supranasional yang sanggup bertindak dan sekaligus diakui sebagai wasit yang
objektif. Tetapi dalam situasi dunia sekarang instansi seperti itu belum
dimungkinkan. Dalam rangka Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) telah dibuat
sebuah dokumen tentang dumping, tetapi hanya sebagai model untuk membuat
peraturan hukum di negara-negara anggotanya.
Masalah Korupsi Pada Taraf Internasional
Korupsi dalam bisnis tentu tidak hanya terjadi pada taraf internasional,
namun perhatian yang diberikan kepada masalah korupsi dalam literatur etika
bisnis terutama diarahkan kepada konteks internasional. Masalah korupsi dapat
menimbulkan kesulitan moral besar bagi bisnis internasional, karena di negara
satu bisa saja dipraktekkan apa yang tidak mungkin diterima di negara lain.
Berdasarkan pemikiran De George, terdapat empat alasan mengapa praktek suap
harus dianggap tidak bermoral.
·
Alasan pertama dan paling penting adalah bahwa praktek
suap itu melanggar etika pasar. Kalau kita terjun dalam dunia bisnis yang
didasarkan pada prinsip ekonomi pasar, dengan sendirinya kita mengikat diri
untuk berpegang pada aturan-aturan mainnya. Pasar ekonomi merupakan kancah
kompetisi yang terbuka. Hal itu mengakibatkan antara lain bahwa harga produk
merupakan buah hasil dari pertarungan daya-daya pasar. Dengan praktek suap,
daya-daya pasar dilumpuhkan dan para pesaing mempunyai produk sama baik dengan
harga lebih menguntungkan, tidak sedikit pun dapat mempengaruhi proses
penjualan. Karena itu baik yang memberi suap maupun yang menerimanya berlaku
kurang fair terhadap orang bisnis lain. Pasar yang didistorsi oleh praktek suap
adalah pasar yang tidak efisien. Karena praktek suap itu, pasar tidak berfungsi
seperti semestinya.
·
Alasan kedua adalah bahwa orang yang tidak berhak,
mendapatkan imbalan juga. Dalam sistem ekonomi kita, mereka yang bekerja atau
berjasa mendapat imbalan.
·
Alasan ketiga berlaku untuk banyak kasus suap di mana
uang suap diberikan dalam keadaan kelangkaan. Misalnya, dalam keadaan
kekurangan kertas seorang penerbit mendapatkan persediaan kertas baru dengan
memberi uang suap. Pembagian barang langka dengan menempuh praktek suap
mengakibatkan bahwa barang itu diterima oleh orang yang tidak berhak
menerimanya, sedangkan orang lain yang berhak menjadi tidak kebagian. Hal ini
jelas bertentangan dengan asas keadilan.
·
Alasan terakhir adalah bahwa praktek suap mengundang
untuk melakukan perbuatan tidak etis dan ilegal lainnya. Baik perusahaan yang
memberi uang suap maupun orang atau instansi yang menerimanya tidak bisa
membukukan uang suap itu seperti mestinya. Secara tidak langsung, orang yang
terlibat dalam kasus suap akan terlibat dalam perbuatan kurang etis lainnya
karena terpaksa terus-menerus harus menyembunyikan keterlibatannya.